Ambon, Maluku– Meritokrasi bukan hanya slogan pemerintahan, melainkan arah baru yang menghadirkan janji fundamental, bahwa jabatan dan tanggung jawab dalam birokrasi harus diberikan berdasarkan kompetensi, integritas, dan hasil kerja, bukan karena kedekatan politik, relasi personal, atau konsesi kekuasaan. Kepada publik Maluku di hari pertama kerja, Gubernur Hendrik Lewerissa (5 Maret 2025) bahkan menandai titik awal niat ini. Aparatus Sipil Negara (ASN) diingatkan untuk menunjukkan kualitas kerja, bukan menjilat, dan promosi jabatan sudah tidak lagi berbasis suka atau tidak suka.
Meritokrasi diterjemahkan dalam Sapta Cita Lawamena, sebuah arah kebijakan lima tahun yang menempatkan perbaikan tata kelola publik, efisiensi anggaran, pembangunan SDM, teknologi, dan penghargaan kepada ASN berprestasi sebagai landasan pemerintahan. Akademisi seperti Paulus Koritelu mendukung pendekatan lelang terbuka dan uji kompetensi untuk menempatkan pimpinan OPD berdasarkan kapabilitas manajerial, bukan lobi atau politik lokal.
Dalam praktik, transformasi itu mulai terlihat lewat upaya reformasi birokrasi—lelang jabatan terbuka di lingkungan Pemprov Maluku meski hingga saat tulisan ini dibuat masih sedikit pendaftar. Revolusi budaya birokrasi ini memang lamban, dan banyak kritik menyebut bahwa belum ada perubahan struktur yang radikal dalam 100 hari pertama pemerintahan Gubernur–Wakil Gubernur. Sebuah refleksi dari Michael Young, bahwa meritokrasi seharusnya menjadikan usaha dan prestasi sebagai modal utama, bukan status sosial atau patronase.
Namun semangat reformasi itu tidak berhenti di bacaan kosong. Gubernur berhasil mengamankan dukungan pusat untuk pembangunan fasilitas kesehatan seperti stroke center di RSUP J. Leimena dan peralatan kateterisasi jantung untuk sejumlah rumah sakit Maluku. Ia juga melobi percepatan produksi Blok Masela dan kontrak Blok Migas Binaiya; mendorong perubahan status IAIN Ambon menjadi Universitas Islam Negeri — langkah-langkah yang menunjukkan kepemimpinan visioner di panggung regional.
Tanpa menafikan tantangan pelik seperti kemiskinan struktural, kesenjangan geografis antar pulau, ketimpangan pelayanan, stunting, dan infrastruktur yang memang sulit dituntas dalam waktu singkat. Pemerintah dalam catatan DPRD dan kebanyakan politisi lokal menunjukkan keberpihakan pemimpin yang tenang, strategis, dan rendah retorika, dengan fokus menciptakan ecosystem birokrasi berkualitas dan prioritas pembangunan berkeadilan.
Tetapi, kritik tidak menghilang. Beberapa elemen masyarakat menyebut 100 hari HL-AV sebagai periode tanpa hasil signifikan; resolusi konflik sosial seperti di Tial–Tulehu masih menjadi tantangan yang belum tuntas ditangani. Inilah pengingat bahwa harapan publik perlu disertai kinerja nyata dan terukur.
Secara teoretis, meritokrasi bekerja sebagai katalis peningkatan kualitas pemerintahan publik, efisiensi anggaran, digitalisasi layanan, dan inovasi publik. ASN yang unggul bukan hanya mempercepat pembangunan, tapi juga memperkuat legitimasi sosial pemerintahan. Namun implementasinya harus bebas dari praktik balas jasa dan koncoisme, yang selama ini melemahkan sistem, mendorong proses transparan dan akuntabel sesuai norma meritokrasi bukan sekadar idealisme.
Sudah saatnya meritokrasi diperlakukan sebagai gerakan sosio birokratis yang terukur, perlu indikator terawasi: waktu pelayanan publik mengecil, efisiensi APBD meningkat, ASN berkompeten menjabat OPD penting, dan masyarakat mengawasi secara sadar. Tanpa itu, meritokrasi bisa lenyap di balik retorika politik, dan reformasi hanya jadi sandiwara.
Mengawal Meritokrasi, Wujudkan Maluku Maju dan Berintegritas adalah ajakan publik membangun pemerintahan Maluku yang tak sekadar retorik tapi terbangun lewat hasil nyata. Dengan transparansi, profesionalisme, dan inovasi, Maluku bisa jadi contoh tata pemerintahan daerah yang stabil, tangguh, dan inklusif. Dan inilah momentum untuk mengukir tata kelola berbasis merit dan kinerja sebagai pijakan baru masa depan.***
Redaksi: Muhammad Fahrul Kaisuku







































































Discussion about this post