Ambon, Maluku– Konflik sosial kembali meletus antara warga Negeri Tial dan Tulehu, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah. Dua komunitas yang dalam tradisi Maluku dikenal sebagai gandong saudara seakar dan setanah kembali terjebak dalam ketegangan yang berkepanjangan. Upaya mediasi yang dilakukan oleh Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa, sejauh ini belum mampu meredam eskalasi.
Melihat eskalasi yang berulang, Fungsionaris Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), Syawal Tamher, secara tegas mengkritik kegagalan aparat negara, khususnya Kapolda dan Kepala BIN Daerah (Kabinda) Maluku, dalam mengelola dan mengantisipasi konflik. Tamher bahkan mendesak keduanya untuk mundur dari jabatan.
“Konflik sosial yang terus membara sejak Idul Fitri hingga kini menunjukkan bahwa mekanisme deteksi dini dan respons cepat aparat keamanan lumpuh total. Ini kegagalan serius yang harus dievaluasi oleh Kapolri dan Kepala BIN,” tegas Tamher, Minggu (27/4).
Lebih lanjut, Tamher menilai situasi ini merupakan bukti bahwa fungsi negara dalam menjamin rasa aman, damai, dan kesejahteraan masyarakat tidak berjalan. Kegagalan mengelola konflik horizontal, menurutnya, bukan hanya berdampak pada korban langsung, tetapi juga menciptakan trauma sosial yang lebih luas.
“Dalam perspektif integrasi sosial, negara tidak hanya bertugas memadamkan konflik ketika sudah meledak, tapi wajib melakukan pencegahan dini. Ketidakmampuan membaca dinamika sosial dan mengantisipasi potensi gesekan menunjukkan kegagalan fungsi intelijen dan keamanan di tingkat lokal,” tandasnya.
Tamher mencontohkan bagaimana dampak nyata konflik, seperti aksi blokade jalan raya, bukan hanya menghambat aktivitas ekonomi, pendidikan, dan layanan kesehatan, tetapi juga menambah beban psikososial warga yang tidak terlibat langsung dalam bentrokan.
“Lihatlah bagaimana blokade jalan utama membuat masyarakat umum yang tidak ada kaitannya dengan konflik ikut menjadi korban. Ini bentuk ketidakadilan sosial yang harus segera diakhiri,” ujarnya.
Wakil Bendahara Umum PB HMI ini juga menilai bahwa riak-riak ketegangan yang berulang di berbagai wilayah Maluku mencerminkan lemahnya komitmen aparat dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas).
“Situasi ini memperjelas bahwa Kapolda dan Kabinda Maluku gagal menjalankan mandatnya. Ketidakmampuan mengidentifikasi akar masalah dan memperkuat mekanisme resolusi damai membuat Maluku terus-menerus berada di atas bara api konflik,” pungkas Tamher.
Ia menekankan, jika kedua pejabat tersebut tidak mampu menunjukkan perubahan nyata dalam waktu dekat, maka langkah mundur adalah pilihan terhormat untuk memberi kesempatan kepada sosok baru yang lebih mampu menjawab tantangan keamanan di Maluku.***