Piru, Maluku– Rencana pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Seram Bagian Barat (SBB) pada 6 Februari 2024 telah resmi ditunda ke 18 Februari. Namun, terendus kabar wakil rakyat Saka Mese Nusa tetap berangkat, dengan restu dari Sekretaris Dewan (Sekwan).
Yang membuat publik semakin geram, alasan yang beredar adalah mereka sudah terlanjur membeli tiket lebih awal. Jika benar demikian, ini adalah bukti nyata betapa lemahnya koordinasi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran perjalanan dinas.
Tiket Sudah Dibeli: Alasan yang Bisa Diperdebatkan
Dalih bahwa tiket sudah telanjur dibeli patut dipertanyakan. Jika memang pembelian dilakukan sebelum informasi penundaan diterima, mengapa tidak ada langkah cepat untuk membatalkan atau menyesuaikan jadwal? Apakah tidak ada koordinasi lebih lanjut setelah ada kepastian perubahan tanggal pelantikan?
Di banyak kasus perjalanan dinas, alasan seperti ini sering dipakai untuk menghindari pertanggungjawaban. Padahal, dalam sistem pengelolaan anggaran negara yang transparan, setiap perjalanan dinas harus disesuaikan dengan kebutuhan riil, bukan hanya sekadar memastikan tiket sudah terbeli.
Jika benar ada unsur keteledoran dalam perencanaan keberangkatan, maka ini adalah kesalahan administratif yang serius. Namun, jika alasan ini hanya digunakan untuk menutupi keputusan yang disengaja, maka ada kemungkinan unsur kepentingan tertentu bermain di balik layar.
Sekwan: Gagal atau Bermain Aman?
Sebagai pejabat yang bertanggung jawab atas administrasi DPRD, Sekwan seharusnya memastikan bahwa setiap agenda perjalanan dinas benar-benar sesuai dengan kepentingan daerah. Jika dia tetap menyetujui keberangkatan anggota DPRD meski sudah ada informasi penundaan pelantikan, maka ada dua kemungkinan:
- Sekwan lalai dalam menjalankan tugasnya dan tidak memastikan pembaruan informasi kepada para anggota dewan.
- Sekwan mengetahui perubahan agenda tetapi tetap memberikan restu karena ada tekanan politik atau kepentingan lain.
Dalam kedua skenario tersebut, Sekwan tetap harus bertanggung jawab. Jika alasan tiket sudah telanjur dibeli benar adanya, maka publik berhak tahu siapa yang bertanggung jawab atas keputusan pembelian tiket sebelum kepastian agenda pelantikan.
Perjalanan Dinas: Tugas atau Liburan Bermodus?
Sudah terlalu sering perjalanan dinas menjadi celah untuk menghabiskan anggaran, sering kali tanpa dampak nyata bagi masyarakat. Jika keberangkatan ini dibiayai oleh APBD, maka ada pertanyaan besar yang harus dijawab:
Berapa anggaran yang dikeluarkan untuk perjalanan yang seharusnya tidak perlu ini?
Apakah ada opsi pengembalian dana jika tiket sudah dibeli sebelum kepastian acara?
Apakah ada mekanisme kontrol yang bisa mencegah kasus serupa terulang?
Tanpa transparansi, keberangkatan ini akan dicurigai sebagai bagian dari budaya “jalan-jalan dengan dana rakyat.” Publik berhak marah jika uang daerah digunakan untuk perjalanan yang sebenarnya tidak perlu.
Evaluasi dan Tanggung Jawab
Kasus ini bukan hanya soal tiket yang terlanjur dibeli, tetapi lebih kepada lemahnya koordinasi dan pertanggungjawaban birokrasi daerah. DPRD dan Sekwan harus memberikan klarifikasi resmi yang bisa dipertanggungjawabkan, bukan sekadar alasan normatif yang tidak masuk akal. Jika ditemukan unsur kesengajaan atau kelalaian, maka perlu ada evaluasi serius terhadap kinerja Sekwan.
Lebih dari itu, publik harus lebih aktif mengawasi penggunaan anggaran daerah. Jika pejabat bisa seenaknya beralasan “sudah beli tiket,” maka jangan heran jika kasus seperti ini terus berulang. Saatnya birokrasi daerah lebih profesional, atau mereka harus siap berhadapan dengan kemarahan rakyat yang semakin cerdas.***