Piru, Maluku– Dalam setiap transisi kepemimpinan, selalu ada pihak yang mencoba memanfaatkan situasi demi keuntungan pribadi. Fenomena ini tampaknya juga terjadi di Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), di mana Bupati Asri Arman diduga memberikan endorsement kepada media tertentu untuk membangun citra pemerintahannya.
Langkah ini tidak hanya menimbulkan ketidakadilan bagi media yang telah lama mengawal pembangunan SBB, tetapi juga membuka celah bagi oknum-oknum oportunis yang ingin meraup keuntungan dari perubahan kebijakan komunikasi pemerintah.
Fenomena ini bukan hal baru. Setiap pemerintahan baru kerap dikelilingi oleh individu atau kelompok yang ingin mendapatkan akses eksklusif, baik dalam bentuk proyek, anggaran, maupun kemitraan strategis dengan pemerintah.
Dalam konteks media, ada indikasi bahwa beberapa pihak memanfaatkan situasi ini dengan menciptakan atau mendorong media-media baru untuk kepentingan “cari muka” terhadap pemerintah.
Akibatnya, media yang selama ini kritis dan berperan dalam mengawasi jalannya pemerintahan justru ditinggalkan, bahkan terkesan tidak diberikan akses.
Namun, lebih dari sekadar pengelolaan media, yang lebih memprihatinkan adalah keterlibatan pihak-pihak yang seharusnya tidak berwenang dalam mengatur sistem informasi publik. Indikasi adanya kader partai politik non-ASN yang ikut campur dalam sistem komunikasi pemerintah semakin memperkuat dugaan bahwa informasi publik tengah dimonopoli untuk kepentingan kelompok tertentu.
Dalam tata kelola pemerintahan yang baik, netralitas dan transparansi dalam pengelolaan informasi publik adalah hal mutlak. Humas pemerintah seharusnya bekerja secara profesional dan independen dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat. Jika posisi strategis ini justru dikuasai oleh pihak yang memiliki kepentingan politik, maka ada potensi besar penyalahgunaan wewenang.
Dua bahaya besar mengancam dalam kondisi ini. Pertama, informasi yang dikonsumsi publik bisa menjadi tidak seimbang karena hanya disaring melalui media yang loyal terhadap pemerintah. Kedua, transparansi dalam pengelolaan anggaran publik, terutama terkait dengan dana komunikasi dan publikasi pemerintah, bisa dipertanyakan. Apakah anggaran ini benar-benar digunakan untuk kepentingan informasi publik, atau justru menjadi ladang bisnis bagi segelintir orang yang dekat dengan kekuasaan?
Keterlibatan kader partai dalam mengelola informasi publik juga berpotensi melanggar prinsip netralitas yang seharusnya dijaga oleh pemerintahan. Meskipun bukan ASN, mereka tetap bekerja dalam sistem yang menggunakan anggaran negara, sehingga seharusnya tidak boleh membawa kepentingan politik praktis ke dalam tata kelola komunikasi pemerintah.
Pola seperti ini bukan hanya merugikan media yang telah berjuang sejak lama di SBB, tetapi juga merugikan masyarakat luas. Ketika media hanya menjadi alat propaganda, maka kritik dan suara rakyat bisa ditekan.
Pemerintah seharusnya tidak hanya mengakomodasi media yang sejalan dengan narasi mereka, tetapi juga membuka ruang bagi jurnalisme independen yang bisa memberikan kontrol sosial yang sehat.
Pemerintahan Bupati Asri Arman perlu menjelaskan kebijakan ini secara terbuka. Jika memang ada oknum yang memanfaatkan momentum pemerintahan baru untuk keuntungan pribadi, maka harus ada tindakan tegas untuk mencegah praktik semacam ini. Kebebasan pers harus tetap dijaga, dan media—baik yang mendukung maupun yang kritis—harus mendapatkan ruang yang sama dalam menginformasikan kebijakan publik.
Masyarakat SBB berhak mendapatkan berita yang akurat, bukan hanya yang sudah dikemas sesuai kepentingan politik tertentu. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka bukan hanya independensi media yang terancam, tetapi juga kualitas demokrasi di SBB.***