Piru, Maluku– Pengadilan Negeri (PN) Dataran Hunipopu kembali menggelar sidang lanjutan perkara gugatan ganti rugi lahan No. 16/Pdt.G/2024/PN Drh pada Kamis (8/5/2025), bertempat di ruang sidang utama. Sidang kali ini mengusung agenda penyerahan bukti tambahan dari para pihak yang bersengketa.
Sidang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim, Dwi Satya Nugroho, dengan didampingi Hakim Anggota, Andi Maulana, serta Panitera Salmiah.
Hadir dalam persidangan, Penggugat yang merupakan Ketua Masyarakat Hukum Adat Negeri Hatutelu, Danny Titawanno, bersama kuasa hukumnya Marsel Maispatella, Sementara itu, Tergugat I dari Pemerintah Desa Piru yang dikuasakan kepada Charles Litaay, Tergugat II dari PT Manusela Prima Mining, Tergugat III dari PT Bina Sewangi Raya, serta kuasa hukum pihak intervensi, Corneles Latuny dan Bardin La Joni, turut hadir dalam persidangan.
Proses penyerahan dokumen berjalan lancar. Majelis hakim menjadwalkan sidang berikutnya pada Senin (19/5/2025) dengan agenda penyampaian kesimpulan secara elektronik.
Seluruh kuasa hukum diwajibkan mengunggah dokumen kesimpulan mereka pada rentang waktu pukul 12.00 hingga 14.00 WIT. Lewat dari batas waktu tersebut, sistem akan menutup akses pengunggahan. Sidang-sidang selanjutnya akan dilangsungkan sepenuhnya secara elektronik hingga putusan dibacakan.
Usai sidang, Kuasa Hukum Masyarakat Hukum Adat Negeri Hatutelu, Marsel Maispatella, menyampaikan bahwa pihaknya tetap optimistis dan menghormati proses hukum yang tengah berjalan.
Ia menegaskan bahwa segala keputusan sepenuhnya berada di tangan majelis hakim sebagai pihak yang diberi amanah konstitusional dan spiritual.
“Perkara ini bukan semata-mata soal hak, tetapi soal kejujuran dan pembelajaran hukum bagi masyarakat agar tidak terjadi fitnah, saling tuding, bahkan potensi konflik di masa mendatang,” ujarnya di pelataran PN Dataran Hunipopu, Jalan Pendidikan, Dusun Tanopol, Kota Piru.
Maispatella juga mengkritisi sikap sebagian pihak yang menurutnya terkesan memonopoli kewenangan.
Ia menegaskan bahwa jabatan Kepala Desa tidak dapat disamakan dengan kedudukan raja, sebab dalam sistem pemerintahan modern, kekuasaan dibatasi dan dibagi.
“Pada tahun 2022, Kepala Dinas PMD SBB saat itu, Reinhold Lisapally, telah menegaskan bahwa jabatan Kepala Desa merupakan jabatan administratif, bukan simbol kerajaan. Ini bahkan telah diikuti dengan perubahan cap resmi desa,” jelasnya.
Maispatella menegaskan bahwa negara ini menganut sistem pembagian kekuasaan, bukan monopoli. Karena itu, setiap pemangku jabatan perlu menghormati batasan kewenangan masing-masing, termasuk terhadap masyarakat adat yang memiliki hak ulayat atas wilayah mereka. ***