Ambon, Maluku– Di tengah hamparan laut biru dan gugusan pulau-pulau yang membentang seluas 712.479 km², tersembunyi sebuah ironi pembangunan yang menyakitkan. Provinsi Maluku, “The Spice Islands” dengan 1.392 pulau, justru terbelenggu oleh ketidakadilan sistemik dalam alokasi Dana Alokasi Umum (DAU).
Dengan anggaran yang tak pernah menyentuh angka Rp3,5 triliun, lebih kecil dari DAU Kabupaten/Kota di Jawa dan Sumatera, Maluku dipaksa berlari marathon dengan beban berat di kedua kaki. Kondisi ini jelas tidak adil dan harus segera diperbaiki melalui perhitungan DAU afirmatif yang mempertimbangkan karakteristik kepulauan (Peraturan Menteri Kuangan Nomor 134 Tahun 2023).
Saat ini, DAU dihitung berdasarkan jumlah penduduk, luas daratan, indeks kemahalan konstruksi (IKK), dan kemampuan fiskal daerah. Formulasi ini memberikan dampak sistemik yang menyebabkan rantai kemiskinan di Maluku rasanya sulit untuk diputus.
Bagi provinsi kepulauan seperti Maluku, formula perhitungan DAU ini sangat merugikan karena jumlah penduduk yang sedikit (kurang dari 2 juta jiwa). Padahal, biaya pelayanan publik di kepulauan jauh lebih mahal karena tersebar di banyak pulau.
Formulasi perhitungan DAU berdasarkan luas daratan mengakibatkan luas laut Maluku tidak dihitung, sementara 92% wilayah Maluku adalah laut yang justru membutuhkan biaya besar untuk transportasi, konektivitas, aksesibilitas, dan keamanan.
Kondisi ini makin diperparah dengan biaya logistik yang sangat tinggi. Harga bahan pokok di Maluku bisa dua hingga tiga kali lebih mahal daripada di Pulau Jawa, karena tingginya biaya distribusi antarpulau.
Akibatnya, Maluku tidak memiliki anggaran yang memadai untuk membangun infrastruktur dasar seperti pelabuhan, jalan, dan jaringan listrik, yang pada akhirnya memperparah ketimpangan pembangunan.
Kemiskinan struktural akibat sistem yang tidak adil ini, membuat Maluku sulit membangun fondasi ekonomi yang kuat. Beberapa dampaknya antara lain; pelayanan kesehatan dan pendidikan terhambat. Banyak puskesmas dan sekolah di pulau terpencil kekurangan tenaga dan fasilitas karena biaya operasional tinggi.
Investasi juga sulit masuk. Minimnya infrastruktur membuat sektor pariwisata, perikanan, dan perkebunan, yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi, tidak bisa berkembang. Dampak lainnya, membuat ketergantungan pada pusat terus berlanjut. Tanpa dukungan afirmatif, Maluku tetap terjebak dalam lingkaran kemiskinan.
Solusi agar mendorong DAU Afirmatif untuk Maluku, yakni menuntut pemerintah pusat harus mengubah formula DAU dengan:
Pertama, memasukkan luas laut dalam perhitungan, karena laut adalah bagian integral dari wilayah administrasi Maluku.
Kedua, memberikan bobot khusus untuk indeks kemahalan logistik kepulauan, mengakui bahwa biaya hidup dan pembangunan di Maluku jauh lebih tinggi. Ketiga, menambah alokasi dana khusus (DAK) untuk konektivitas antarpulau, seperti subsidi transportasi laut dan pembangunan pelabuhan.
Jika Jawa dan Sumatera bisa maju karena dukungan infrastruktur yang memadai, Maluku juga berhak mendapatkan kesempatan yang sama. Keadilan afirmatif bukan sekadar bantuan, melainkan pengakuan atas hak Maluku untuk berkembang.
Inilah saatnya Gubernur Maluku dan Wakil Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa-Abdullah Vanath, bersama 8 anggota DPR/DPD RI daerah pemilihan Maluku bangkit sebagai pembela rasa keadilan bagi Maluku. Beberapa usulan yang mungkin dapat saya sampaikan, yakni;
- Membentuk Tim Khusus gabungan Pemprov-DPRD untuk menyusun kajian komprehensif.
- Menyurati Presiden RI dan Menteri Keuangan dengan lampiran data komparatif.
- Mengajukan Judicial Review terhadap Permendagri No. 101/2022 tentang Formula DAU.
- Membangun Koalisi Strategis dengan 11 provinsi kepulauan lainnya.
- Hearing intensif dengan Bappenas dan Kemendagri.
- Memasukkan isu ini sebagai prioritas dalam pembahasan APBN 2026.
- Konsolidasi seluruh potensi Maluku, baik perguruang tinggi, organisasi masyarakat, mahasiswa, hingga pemuda, untuk satu suara menyuarakan kepentingan ini.
- Sosialisasi massif melalui media lokal dan nasional.
Perjuangan ini bukan lagi sebatas tentang angka-angka di atas kertas, tapi menyangkut rasa keadilan Maluku sebagai satu dari delapan provinsi yang mendirikan negara ini.
Maluku tidak bisa terus dikungkung oleh sistem yang tidak adil. Perhitungan DAU harus direvisi agar mencerminkan realitas geografis dan ekonomi kepulauan. Tanpa kebijakan afirmatif ini, ketimpangan antara Maluku dan daerah kontinental akan semakin melebar, memperdalam kemiskinan struktural yang sudah mengakar.
Para pemangku kebijakan kita saat ini berdiri di persimpangan sejarah: menjadi pahlawan pembawa keadilan, atau dikenang sebagai generasi yang diam ketika rakyatnya tenggelam dalam ketimpangan. Pilihan ada di tangan mereka. *** AT