Ambon, Maluku– Di tubuh Pemerintah Provinsi Maluku, ada gelombang mutasi senyap yang mengalir tanpa arah yang jelas, tanpa transparansi, tanpa ukuran kinerja, tanpa pertimbangan kompetensi. Mutasi ini seperti digerakkan oleh tangan-tangan tak terlihat, namun dampaknya nyata: mengacak-acak tatanan birokrasi dan pendidikan yang seharusnya berjalan berdasarkan asas meritokrasi.
Contoh konkrit bisa ditemukan pada pemindahan seorang ASN yang berlatar belakang pendidikan teknik arsitektur, dengan kualifikasi S2 dan sudah mengikuti dua kali uji kompetensi, dari posisi strategis dalam kelompok kerja (Pokja) ke unit Perpustakaan dan Kearsipan.
Langkah ini tak hanya mencederai logika penempatan pegawai berbasis kompetensi, tapi juga menghancurkan motivasi ASN yang selama ini telah membekali diri dengan kualifikasi dan pengalaman yang relevan.
Hal ini tidak hanya terjadi di tingkat birokrasi pemerintahan, tetapi juga merambah dunia pendidikan. Gonta-ganti kepala sekolah di tingkat SMA menjadi rutinitas tanpa dasar evaluasi kinerja yang jelas.
Di beberapa kasus, ditemukan kepala sekolah yang diangkat tanpa memenuhi syarat administratif maupun kompetensi, tapi tetap dipaksakan menduduki jabatan strategis.
Lebih jauh, sejumlah guru dipindahkan secara sepihak, tanpa pemberitahuan yang layak dan tanpa kejelasan alasan. Beberapa guru bahkan ditolak oleh sekolah yang dituju karena prosesnya tidak dikomunikasikan dan tidak sesuai kebutuhan institusi penerima.
Proses mutasi yang seharusnya berdasarkan kebutuhan dan kompetensi, kini seolah berubah menjadi “comot dan taruh”—mengacaukan sistem distribusi tenaga pendidik dan merusak keberlangsungan proses belajar mengajar.
Padahal, Gubernur Maluku sendiri telah berulang kali menyampaikan komitmennya terhadap meritokrasi dalam sistem pemerintahan.
Dalam berbagai kesempatan, beliau menegaskan bahwa jabatan dalam birokrasi harus diisi berdasarkan kompetensi dan integritas, bukan karena kedekatan atau unsur suka dan tidak suka.
Bahkan, Gubernur secara terbuka menyatakan tidak membutuhkan ASN yang hanya pandai memuji, tetapi mereka yang mampu bekerja jujur, profesional, dan sesuai keahliannya.
Jika demikian, maka timbul pertanyaan yang mengganggu: praktik mutasi yang amburadul ini atas arahan siapa? Benarkah ini cerminan dari visi Gubernur, ataukah justru ada tangan-tangan liar yang memanfaatkan celah sistem dan mengatasnamakan “arahan” untuk kepentingan pribadi atau kelompok?
Sudah saatnya Pemerintah Provinsi Maluku melakukan pembenahan menyeluruh terhadap praktik mutasi pegawai.
Bila memang semangat meritokrasi adalah napas yang ingin dihidupkan Gubernur, maka harus ada konsistensi antara visi dan implementasi.
Tidak cukup hanya dengan pidato dan arahan, tetapi harus hadir pengawasan nyata terhadap proses mutasi, agar tidak disusupi oleh kepentingan yang mencederai profesionalisme birokrasi.
Karena pada akhirnya, publik tidak hanya menilai dari kata-kata, tetapi dari bagaimana sistem bekerja—apakah sesuai janji atau justru berbalik menjadi alat kekuasaan yang merusak.***