- Di saat pemimpin belajar berkurban, timnya justru sibuk mengorbankan etika demi pengaruh. ***
Oleh: Fahrul Kaisuku
Piru, Maluku– Tulisan ini lahir dari pengalaman personal yang berangkat dari cerita-cerita ringan yang awalnya saya anggap tak lebih dari kabar angin. Tentang “penunggu Pandopo” di Seram Bagian Barat. Sosok-sosok tak bernama yang menghuni ruang-ruang kekuasaan tanpa jabatan formal.
Dalam cerita, saya mengira mereka benar benar petugas jaga. Namun, semakin banyak cerita yang saya dengar, hingga pada satu malam yang tak saya duga menjadi titik balik, saya menyaksikan sendiri yang membuat semua cerita itu terasa masuk akal.
Refleksi ini saya tulis bertepatan dengan momentum Idul Adha 1446 Hijriah, satu waktu yang sarat makna pengorbanan. Saya mencoba menggali makna kurban, bukan hanya dalam dimensi spiritual, tetapi dalam konteks sosial-politik lokal. Sebab, kekuasaan pun menuntut kurban, bukan untuk mengukuhkan diri, melainkan untuk menanggalkan ego dan membersihkan niat.
Refleksi Kurban di Era Kekuasaan Bayangan
Dalam tradisi keagamaan, kurban merupakan simbol pengorbanan tertinggi: bentuk ketulusan memberi tanpa pamrih dan ekspresi etis tentang bagaimana kekuasaan seharusnya dijalankan dengan kesadaran bahwa kepemimpinan adalah amanah, bukan hak eksklusif. Nilai-nilai ini sangat relevan ketika kita merenungkan dinamika kekuasaan lokal, khususnya di daerah seperti Kabupaten Seram Bagian Barat, di mana fenomena politik tak hanya dibentuk oleh pemimpinnya, tetapi oleh aktor-aktor yang mengitari pusat kekuasaan.
Kepemimpinan Asri Arman, sebagaimana umumnya kepala daerah di Indonesia, dibangun di atas visi dan harapan. Namun, sebaik apa pun niat dan rencana seorang pemimpin, akan selalu ada kekuatan lain yang membentuk, bahkan bisa mencemari, jalannya pemerintahan, yakni tim yang semestinya hanya berperan pada masa kampanye dan transisi kekuasaan, tapi dalam praktiknya menjelma menjadi kekuasaan bayangan.
Mereka tidak sekadar membantu, melainkan mengontrol, memagari akses, bahkan memosisikan diri seakan-akan merekalah pemilik kunci kekuasaan. Di kabupaten bertajuk Saka Mese Nusa, mereka disebut Bupati – Bupati Kecil.
Fenomena “penunggu pandopo” menjadi simbol nyata dari problem ini. Anggota tim yang tidak memiliki posisi formal dalam struktur birokrasi justru mendominasi ruang-ruang kekuasaan, baik secara fisik maupun simbolik. Mereka hadir setiap hari di rumah dinas bupati, bukan untuk mendukung agenda pelayanan publik, tetapi untuk memastikan bahwa pengaruh mereka tetap eksis, terlihat, dan diakui.
Keberadaan mereka menjadi sandi yang dipahami oleh para birokrat, siapa yang ingin tetap aman dalam posisi jabatan, harus menjalin komunikasi dan loyalitas, bukan lagi kepada sistem, tetapi kepada para “penunggu” itu. Mirisnya peran ini terendus juga dimainkan oknum anggota DPRD. Perselingkuhan nyata yang dianggap biasa.
Ini jelas merupakan bentuk distorsi. Kekuasaan tidak lagi bersandar pada aturan, melainkan pada kedekatan. Kedekatan ini dijadikan alat kontrol yang sangat efektif untuk membentuk opini, mempengaruhi kebijakan, bahkan mengatur mutasi dan rotasi jabatan.
Dalam konteks ini, nilai kurban yang mestinya menjadi prinsip dasar yakni mengorbankan ego demi kepentingan masyarakat lua justru dibalik: yang terjadi adalah perebutan posisi, pengukuhan eksistensi, dan pemanfaatan kekuasaan untuk keuntungan simbolik maupun material.
Fenomena ini juga menunjukkan bahwa dalam banyak hal, ancaman terhadap integritas pemerintahan bukan datang dari lawan politik, melainkan dari internal lingkar kekuasaan itu sendiri.
Mereka yang seharusnya menjadi penopang kekuatan pemimpin, justru membangun kekuasaan alternatif di balik tirai. Mereka menjadi pengatur lalu lintas informasi, pengarah strategi jabatan, bahkan menjadi saluran tekanan terhadap OPD dan tokoh-tokoh birokrasi.
Pemerintahan pun perlahan kehilangan independensinya, karena fungsi-fungsi pengambilan keputusan ikut dikendalikan oleh aktor non-formal yang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban secara struktural.
Dalam situasi seperti ini, keberhasilan administratif atau capaian program pembangunan hanya menjadi statistik kosong jika nilai-nilai etis pemerintahan dikorbankan.
Kepemimpinan yang tampak berjalan baik di permukaan, namun diiringi oleh dinamika kekuasaan bayangan, tidak akan pernah kokoh. Karena akar dari kepemimpinan sejati bukan hanya pada kemampuan mengelola program, tetapi juga keberanian menjaga ruang kekuasaan tetap steril dari infiltrasi egoisme kolektif.
Sudah saatnya pemimpin di daerah, termasuk di Seram Bagian Barat, berani memutus ketergantungan terhadap tim yang menjelma menjadi pengatur kekuasaan tak kasatmata.
Dalam semangat kurban, seorang pemimpin harus mampu menyucikan kembali rumah kepemimpinannya, bahwa kedekatan bukan ditentukan oleh seberapa sering seseorang duduk dan bolak balik di pandopo, tetapi oleh seberapa besar niat untuk melayani tanpa harus menguasai.***