Jakarta, Maluku– Kepulauan Maluku, sebuah wilayah yang diberkahi (given) dengan kekayaan alam melimpah, justru tercatat sebagai salah satu daerah termiskin di Indonesia. Paradoks ini tidak lahir dari ketiadaan sumber daya, melainkan dari kemiskinan struktural yang mengakar akibat sistem regulasi nasional yang tidak memihak karakteristik kepulauan.
Maluku adalah korban sempurna dari resource curse (kutukan sumberdaya), dan gambaran nyata dari fenomena paradoks kekayaan sumber daya alamnya. Di satu sisi, pulau-pulau di Maluku memiliki potensi tambang seperti emas di Buru dan Lirang, tembaga di Wetar, potensi minyak, gas, marmer, nikel, bauksit dan sejumlah mineral lainnya di Seram, serta Blok Gas Masela dengan nilai proyek USD 20 miliar atau sekitar IDR 336 triliun (kurs USD 1 = IDR 16.800) memiliki cadangan 10,7 triliun kaki kubik gas, terbesar di Indonesia. Ironinya Maluku menjadi salah satu provinsi termiskin.
Sebagai provinsi dengan 92 persen wilayah laut, Maluku justru dihadapkan pada ketidakadilan kebijakan yang dirancang untuk wilayah kontinental. Kemiskinan struktural merujuk pada kemiskinan yang dipertahankan oleh sistem politik, ekonomi, dan kebijakan yang timpang, tidak mengakomodasi realitas kepulauan.
Di Maluku, akar masalahnya terletak pada desain kebijakan nasional yang mengabaikan realitas dan karakteristik geografis. Dengan total luas 712.479 km² (darat dan laut), Maluku seharusnya mendapat perlakuan khusus sebagai daerah kepulauan.
Namun, dalam perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU), pemerintah pusat hanya menggunakan luas daratan (46.914 km²) dan jumlah penduduk 1.848.923 jiwa (sensus penduduk tahun 2020) sebagai acuan dan rumus menghitung DAU. Akibatnya, alokasi dana untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, jauh dari dari kata memadai, apalagi adil. Biaya logistik dan mobilitas di kepulauan seperti Maluku bisa 3 hingga 5 kali lebih tinggi daripada wilayah kontinental.
Regulasi yang “buta laut” ini tidak hanya mengabaikan karakter geografis Maluku, tetapi juga melanggengkan ketergantungan ekonomi, menjadikan kekayaan alamnya sebagai sumber kemakmuran bagi pihak lain, sementara rakyatnya hidup dalam lingkaran kemiskinan.
Jika Maluku merdeka dan berdaulat penuh, saya berani taruhan, Maluku berpotensi menjadi negara terkaya di Asia Tenggara. Dengan kendali atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 658.000 km², Maluku bisa memungut pajak perikanan, mengelola migas Blok Masela (dengan cadangan 10,7 triliun kaki kubik gas), serta menegosiasikan kontrak tambang secara adil.
Pendapatan dari gas saja diperkirakan mencapai IDR 150 triliun per tahun, ini baru 1 blok, sedangkan data Kementerian ESDM, Maluku setidaknya memiliki 25 blok migas. Dengan potensi penghasilan sebesar itu, lebih dari kata cukup untuk membangun pelabuhan internasional di Ambon, membangun infrastruktur maritim yang kuat, jalan trans lingkar Maluku, jaringan listrik sampai di pulau-pulau terpencil, hingga pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis berbasis maritim. Sebagai perbandingan, saat ini APBD Provinsi Maluku setiap tahun tidak pernah lebih dari IDR 3,5 miliar, bahkan kalah jumlahnya dari wilayah Kabupaten/Kota di provinsi lain.
Sumber pendapatan ini belum termasuk dari sektor lainnya, termasuk misalnya dari sektor perikanan di mana Maluku memiliki tiga wilayah fishing ground yang memberikan kontribusi signifikan terhadap perikanan nasional hingga 37 persen. Sementara skema Dana Bagi Hasil (DBH) yang balik ke daerah penghasil hanya 10 persen.
Pendapatan devisa Indonesia dari sektor perikanan mencapai USD 6,24 miliar pada tahun 2022 atau sekitar IDR 104,95 triliun (kurs 16.800). Sektor perikanan Indonesia merupakan salah satu yang terbesar di dunia dan memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian negara. Kalau 37 persen dari total devisa negara dari sektor perikanan, berarti Maluku menyumbangkan setiap tahun setidaknya IDR 38,8 triliun ke negara.
Kemandirian juga membuka peluang industrialisasi berbasis sumber daya lokal seperti emas, nikel, bauksit, tembaga, dan mineral lainnya di Maluku, bisa diolah menjadi perhiasan, feronikel, baterai lithium, aluminium, hingga produk turunan lainnya, dan bukan diekspor mentah (raw material). Pada sektor perikanan, ikan tuna dan cakalang dapat dikemas sebagai produk premium bernilai tinggi untuk pasar ekspor. Sementara di sektor pariwisata bahari bisa dikembangkan menyaingi Maladewa atau Fiji.
Meski demikian, kemerdekaan juga bukan jaminan otomatis. Kapasitas SDM, tata kelola yang bersih, dan diplomasi internasional menjadi prasyarat utama. Namun, yang perlu disadari adalah argumentasi ini lebih dari sekadar wacana merdeka, ia adalah kritik terhadap sistem yang gagal mengakomodasi keadilan bagi daerah kepulauan. Pemerintah pusat perlu merevisi formula DAU dengan memasukkan parameter kelautan, memberikan otonomi khusus pengelolaan SDA, dan menghentikan praktik eksploitasi yang timpang.
Kemiskinan di Maluku adalah cermin kegagalan negara melihat laut sebagai ruang hidup dan ekonomi, serta buah dari kebijakan yang tidak memahami laut sebagai masa depan. Tanpa perubahan fundamental dan selama kebijakan masih “buta laut”, kekayaan alam Maluku akan tetap menjadi “kutukan” yang memperpanjang jerat kemiskinan.
Jika negara tidak mampu menjawab ketidakadilan ini, wacana kemerdekaan, sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem yang menindas, akan terus bergema setiap tahun tanggal 25 April. Bukan lagi sebagai hasrat memisahkan diri, tetapi sebagai seruan “Bangsa Maluku” agar Indonesia lebih adil.
Wacana kemerdekaan adalah alarm buat Indonesia. RMS, Republik Maluku Selatan, mungkin hanya menjadi nostalgia dan cerita masa lalu, tapi Republik Maluku Sejahtera adalah harapan dan masa depan yang harus terus diperjuangkan sampai negara ini benar-benar berlaku adil buat Maluku.***