Ambon, Maluku– Dunia maya di Kota Ambon kembali diramaikan dengan perang kata antar pengguna media sosial, terutama di platform Facebook Pro dan TikTok. Fenomena saling serang, hujat, dan sindir ini kian marak, hingga mengundang perhatian Ketua Tim Periksa Fakta Mafindo Maluku, Aril Salamena.
Aril menegaskan bahwa viral bukan segalanya. Menurutnya, obsesi untuk menjadi terkenal di dunia digital sering kali membuat orang kehilangan akal sehat dan mengabaikan nilai-nilai budaya lokal yang menjunjung tinggi persaudaraan.
Banyak orang skrang ingin viral tanpa memikirkan akibatnya. Padahal, viral tanpa etika itu bukan prestasi, tapi tanda rendahnya literasi digital, ujar Aril Salamena di Ambon, Selasa (21/10/2025).
Fenomena saling caci ini, lanjutnya, bukan sekadar masalah moral pribadi, tetapi juga berpotensi menimbulkan konflik sosial di tengah masyarakat Maluku yang dikenal sensitif terhadap isu SARA.
Pantauan Mafindo Maluku menunjukkan bahwa dua platform populer tersebut kini banyak dipenuhi konten provokatif. Tak sedikit kreator yang menyebarkan potongan video pribadi, percakapan, dan unggahan bernada menghina demi meningkatkan jumlah penonton dan pengikut.
Media sosial skarang jadi arena adu hina. Banyak yang lupa, di balik layar, ada harga diri dan perasaan orang lain yang dipertaruhkan, ujar Aril.
Ia menilai, tren seperti ini telah menjauhkan media sosial dari tujuan awalnya sebagai ruang berbagi ide dan edukasi. Yang ditampilkan bukan lagi kecerdasan, tapi kebodohan yang dikemas menarik. Lucunya, makin kasar, makin rame penontonnya, sindirnya.
Aril juga mengungkapkan kekhawatiran atas meningkatnya jumlah anak di bawah umur yang menjadi penonton aktif konten provokatif dan vulgar di TikTok maupun Facebook Pro. Menurutnya, banyak anak kini lebih banyak belajar dari konten digital ketimbang dari guru di sekolah. Jika yang mereka lihat adalah pertengkaran dan caci maki, perilaku itu bisa dengan mudah mereka tiru.
Anak-anak skrang tu dong belajar dengan cara meniru. Kalau yang dong lihat setiap hari adalah orang dewasa saling menghina di media sosial, vidio maupun konten senonoh (menyerupai adegan orang dewasa) dong pasti akan menganggap itu normal, jelas Aril dengan nada prihatin.
Ia menegaskan bahwa ruang digital seharusnya menjadi tempat tumbuhnya kreativitas positif, bukan arena penyebaran ujaran kebencian. Kreativitas itu bukan soal siapa paling berani menghina, tapi siapa yang paling bermanfaat bagi orang lain, tambahnya.
Selain ujaran kebencian, hoaks, misinformasi, dan disinformasi juga menjadi perhatian serius Mafindo Maluku. Aril mengingatkan bahwa Maluku merupakan daerah dengan sejarah panjang konflik sosial, sehingga penyebaran informasi palsu bisa menimbulkan dampak besar di tengah masyarakat.
Satu video lama yang diunggah ulang dengan narasi atau hasa yang salah bisa memicu kebencian antarkelompok. Itu su sering terjadi di masa lalu, ujarnya.
Ia menggambarkan, hoaks ibarat bara di tengah rumput kering sekali tersulut, bisa membakar persaudaraan yang telah dibangun dengan susah payah.
katong seng boleh biarkan ruang digital menjadi pemantik konflik. Maluku harus balajar dari pengalaman, tegasnya.
Aril menekankan bahwa menjaga etika digital sama pentingnya dengan menjaga adat dan budaya lokal.
Masyarakat Maluku memiliki nilai orang basudara, pela, dan gandong, aini ain dsb, yang menekankan rasa hormat serta solidaritas. Nilai itu, kata dia, harus dihidupkan kembali di ruang digital.
Kalau di dunia nyata katong bisa saling sapa, peluk dan bagandeng tangan, kanapa di dunia maya katong saling serang? Bukankah Dunia digital juga bagian dari katong pung kehidupan sosial ujarnya.
Ia menilai, sebagian masyarakat terlalu mudah tersulut oleh komentar negatif. Padahal, literasi digital bukan hanya soal kemampuan menggunakan media sosial, tapi juga kemampuan menahan diri.
Kalau di dunia nyata katong bisa jaga lisan, maka di dunia maya juga katong harus jaga jari mai (jempol) tegas Aril.
Aril mengingatkan para kreator di Ambon dan Maluku untuk tidak mengorbankan etika demi popularitas. Ia menilai, sudah terlalu banyak kasus pencemaran nama baik dan pelanggaran UU ITE akibat unggahan tidak bertanggung jawab.
Banyak yang baru sadar setelah dipanggil polisi. Padahal dari awal su jelas, media sosial bukan ruang bebas tanpa hukum, ujarnya.
Ia mengimbau pengguna Facebook Pro dan TikTok agar lebih berhati-hati dalam membuat dan membagikan konten. Alih-alih memperkeruh suasana, mereka diminta menciptakan karya yang inspiratif dan mendidik.
Kalau mau mau orang kanal ya mestinya dengan karya, bukan karena cacian, kata Aril menegaskan.
Di akhir pernyataannya, Aril Salamena mengingatkan bahwa setiap unggahan di media sosial memiliki konsekuensi sosial. Dunia maya bukan sekadar ruang hiburan, tetapi juga ruang publik yang memengaruhi kehidupan nyata.
jari mai (Jempol) itu kecil, tapi bisa menyalakan api basar. Gunakan untuk menyalakan terang, bukan for bakar katong rumah sendiri, pesannya. Ia menegaskan, Maluku terlalu berharga untuk dijadikan medan kebencian digital. Viral boleh, tapi tidak dengan mengorbankan nilai persaudaraan.
Di tanah orang basudara, viral tanpa etika bukan prestasi. Itu peringatan keras, tutup Aril Salamena.***







































































Discussion about this post