Ambon, Gorontalo – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Gorontalo, mengecam serangan digital terhadap dua jurnalis Gorontalo, Sarjan Lahay dan Toger. Keduanya mengalami serangan saat menjalankan kerja jurnalistik pada 5 Februari 2025.
Pelaku menyebarkan informasi palsu terkait isi chat WhatsApp yang mengatasnamakan diri mereka beserta foto pribadi yang tersebar di Facebook dengan nama pemilik akun Latabu Aidi dan WhatsApp pribadi jurnalis-jurnalis di Gorontalo.
Serangan itu dituduhkan kepada korban karena pemberitaan secara masif terkait aktivitas pertambangan emas tanpa izin (PETI) di wilayah Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Beberapa artikel yang dianggap sebagai pemicu utama serangan ini adalah “Kapolsek Marisa Diduga Peras Pelaku PETI Hulawa: Gunakan Oca, Orang Dekatnya?”
Dari judul artikel tersebut, muncul berbagai pemberitaan terkait isu yang sama, seperti “Kapolsek Marisa Diperiksa Propam Soal Dugaan Pemerasan Pelaku PETI Hulawa”, “Rp 50 Juta Peralat, Ajudan Kapolda Gorontalo Diduga Atur Setoran di PETI Hulawa”, dan “Dugaan PETI Hulawa Libatkan Kapolsek dan Ajudan Kapolda: Preseden Buruk untuk Institusi”.
Selain itu, terdapat juga berita lain terkait isu serupa, seperti “Rp 50 Juta Peralat, Kapolda Gorontalo Tanggapi Dugaan Ajudannya Atur Setoran di PETI Hulawa”, “Diduga Peras Pelaku PETI Hulawa, Umar Karim Minta Kapolsek Marisa Diproses Hukum”, dan “Kapolda Gorontalo Didesak Lakukan Investigasi Forensik Terkait Dugaan Ajudannya yang Peras Pelaku PETI Hulawa”.
Semua berita tersebut dipublikasikan secara berurutan, mengikuti perkembangan isu yang ada. Sejak berita-berita itu dipublikasikan, korban juga mendapatkan teror dari beberapa orang yang tidak dikenal yang alasan ingin bersilaturahmi. Orang-orang ini juga menghubungi rekan Sarjan yang juga redaktur di Hibata.id berulang kali untuk meminta menghentikan proses pemberitaan yang dilakukan. Tapi untuk kepentingan informasi publik, Sarjan menolak pertemuan tersebut.
Buntut dari penolakan dan pemberitaan kian berlanjut, Sarjan kena serangan digital berupa impersonasi. Serangan ini memanfaatkan olah digital berupa tangkapan layar aplikasi percakapan Whatsapp yang isinya seolah-olah percakapan meminta pelunasan pembayaran antara korban dengan pihak lain.
AJI Gorontalo mengecam upaya fitnah tersebut dan menilai upaya penyebaran disinformasi seperti itu adalah upaya menggiring opini publik guna mendiskreditkan kerja-kerja jurnalis.
Sementara itu, sejak 2 Februari 2025, Toger, jurnalis Kontras.id mengalami hal yang sama. Pemberitaannya mengenai PETI di Pohuwato mendapat respons yang berbeda dari beberapa orang yang tidak dikenal. Dia mendapatkan undangan pertemuan untuk membahas pemberitaan agar segera dihentikan. Namun, Toger menolak ajak itu dengan alasan keamanan.
Hingga 5 Februari 2025, ajakan pertemuan kepada Toger masih berlangsung, tapi dia punya banyak alasan untuk menolak. Puncaknya dari penolakan pertemuan itu, dia mendapati foto pribadinya beserta potongan pesan fitnah tersebar di media sosial melalui facebook. Toger berani mengaku bahwa pesan yang ditujukan kepada dirinya tidak benar dan punya cukup bukti yang kuat.
Apa yang dialami oleh Sarjan dan Toger merupakan serangan digital kepada jurnalis yang dapat mengganggu kerja-kerja jurnalistik sekaligus menjadi ancaman serius bagi kebebasan pers dan demokrasi. Kerja-kerja jurnalis telah dilindungi oleh Undang-Undang. Serangan, ancaman, pemukulan tidak dibenarkan jika ditujukan kepada jurnalis yang sementara dan telah melaksanakan kerja-kerja jurnalistiknya.
Serangan digital yang dialami jurnalis dapat melemahkan kebebasan berekspresi yang telah dijamin oleh undang-undang. Penyebaran konten disinformasi tersebut bermula dari akun Facebook yang tidak jelas pemiliknya, pengikutnya baru 12 akun, dan isinya hanya memuat dua konten video impersonasi yang memuat fitnah terhadap korban. Patut diduga, penyebaran disinformasi tersebut dilakukan guna mendiskreditkan korban yang tengah menjalankan kerja jurnalistiknya.
Merujuk Undang-undang Pers Nomor 40 tahun 1999, serangan digital yang dialami oleh Sarjan dan Toger sudah masuk dalam pasal 18 juncto KUHP UU ITE. Pasal 18 Ayat (1) UU Pers Nomor 40/1999 menyebutkan siapa pun yang berupaya menghalangi kegiatan jurnalistik bisa diancam pidana hingga dua tahun penjara dan denda sebesar Rp500 juta. Selain itu kekerasan ini berlawanan dengan ayat (2) Pasal 4: “terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.
Pada pasal 30 ayat 3 UU ITE menyebutkan setiap orang dengan sengaja dan tanpa mengakses komputer dan/atau sistem elektronik dengan cara apa pun bisa dipidana penjara paling lama delapan tahun dan denda sebesar Rp800 juta. Pada pasal 31, 32, dan 48 pada UU ITE sudah juga diatur tentang hukuman bagi yang melakukan penyadapan atau penyebaran informasi pribadi kepada publik tanpa ada landasan yang kuat. Dalam hal ini, kegiatan jurnalis menginvestigasi untuk kepentingan publik tidak bisa dikenai hukuman.
Oleh karena itu AJI Gorontalo menyatakan dan mendesak, agar masyarakat tidak langsung percaya terhadap informasi yang beredar dan memastikan secara langsung informasi yang diterima dengan baik dan benar terkait kerja-kerja jurnalis.
Serangan kepada jurnalis tidak dibenarkan karena melanggar kerja-kerja jurnalis yang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Bahwa kerja-kerja jurnalis dalam memberitakan setiap informasi dilindungi oleh UU Pers No. 40 Tahun 1999 dan UU ITE serta aparat penegak hukum memastikan keamanan para jurnalis dalam menjalankan tugasnya di lapangan.
AJI Gorontalo juga mendesak pihak kepolisian agar selalu bertindak lebih serius dan tegas terkait serangan digital yang ditujukan kepada jurnalis karena telah melakukan upaya melanggar hukum, kebebasan pers, dan hak demokrasi.
Selain itu AJI mengajak seluruh pihak untuk menempuh mekanisme hak jawab apabila merasa ada konten pemberitaan yang tidak benar atau merugikan seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. (**)