Ambon, Maluku — Proyek rehabilitasi dan renovasi Madrasah Tsanawiyah (MTs) Muhammadiyah Iha Kulur di Kabupaten Seram Bagian Barat yang dikerjakan oleh CV Basudara di bawah Satuan Kerja Pelaksanaan Prasarana Strategis Maluku, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), menuai sorotan keras. Proyek pendidikan yang mestinya menjadi wujud nyata komitmen negara terhadap dunia pendidikan justru dikerjakan dengan kualitas yang diragukan dan dinilai jauh dari prinsip tanggung jawab publik, Rabu (22/10).
Temuan warga di lapangan memperlihatkan bagian bangunan sekolah yang baru direhabilitasi telah menunjukkan indikasi penggunaan material tidak layak. Kayu penopang atap bangunan tampak keropos dan sebagian sudah dimakan rayap. Padahal, proyek ini merupakan kegiatan rehabilitasi yang dibiayai dari APBN dengan nilai kontrak mencapai miliaran rupiah secara gelondongan. Fakta ini kemudian menjadi sorotan tajam dari berbagai pihak, termasuk aktivis literasi pembangunan di Maluku.
Direktur Rumah Inspirasi dan Literasi, Muhammad Fahrul Kaisuku, menilai proyek tersebut mencerminkan rendahnya kesadaran moral dan integritas dalam pelaksanaan pembangunan di tingkat daerah.
Menurutnya, proyek pendidikan seharusnya menjadi ruang untuk menunjukkan komitmen terhadap kualitas, bukan ajang untuk mempermainkan kepercayaan publik.
“Ini sangat memalukan. Ketika proyek pendidikan dijalankan tanpa tanggung jawab, maka itu bukan hanya soal mutu bangunan yang rendah, tapi juga bentuk pengkhianatan terhadap amanah negara dan masa depan adik-adik kita,” tegas Fahrul.
Ia menekankan bahwa apa yang terjadi di lapangan memperlihatkan krisis literasi pembangunan yang serius. Banyak pelaksana proyek, kata Fahrul, gagal memahami bahwa pembangunan bukan sekedar menyelesaikan pekerjaan fisik, melainkan juga soal etika, tanggung jawab sosial, dan penghormatan terhadap uang rakyat.
“Literasi pembangunan bukan cuma soal membaca laporan proyek atau menghitung volume pekerjaan. Literasi pembangunan adalah kesadaran bahwa setiap rupiah dari APBN adalah amanah publik. Ketika kontraktor bekerja asal-asalan, berarti mereka sedang mengkhianati nilai-nilai kejujuran dan akuntabilitas,” ujarnya.
Fahrul meminta agar pihak terkait Kementerian PUPR melalui dinas Pekerajaan Umum provinsi Maluku segera melakukan evaluasi total terhadap CV Basudara, termasuk terhadap mekanisme pengawasan proyek yang selama ini berjalan.
Ia menilai, lemahnya pengawasan dan tidak adanya ketegasan terhadap pelaksana proyek bermasalah membuat praktik kerja asal-asalan terus berulang di berbagai daerah.
“Termasuk APH harus turun tangan. CV Basudara harus dievaluasi. Jangan biarkan perusahaan seperti ini terus mengerjakan proyek negara. Kalau ditemukan indikasi pelanggaran teknis atau penggunaan material tidak layak, harus ada tindakan tegas. Jangan kompromi terhadap ketidakjujuran,” tandasnya.
Ia juga menyoroti peran pengawas dan konsultan teknis yang seharusnya menjadi benteng terakhir dalam menjaga kualitas pembangunan. Menurutnya, pengawasan yang lemah sama berbahayanya dengan praktik korupsi, karena membuka ruang bagi manipulasi dan penyelewengan anggaran publik.
“Selama ini, pengawasan sering hanya formalitas. Padahal, fungsi pengawasan itu vital untuk memastikan hasil pembangunan sesuai spesifikasi. Kalau pengawasan dibiarkan longgar, maka yang lahir bukan pembangunan, tapi kebiasaan buruk yang diwariskan terus-menerus,” ujar Fahrul.
Fahrul menegaskan bahwa proyek pendidikan memiliki makna sosial yang jauh lebih dalam daripada sekedar pembangunan fisik. Setiap ruang kelas dan setiap tiang bangunan sekolah adalah simbol harapan generasi muda. Jika pekerjaan dilakukan asal jadi, maka yang rusak bukan hanya bangunannya, tapi juga nilai moral dan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
“Kita tidak sedang bicara soal satu bangunan yang keropos, tapi soal sistem pembangunan yang ikut keropos karena hilangnya nurani. Negara hadir lewat anggaran, tapi kehadiran itu akan sia-sia jika para pelaksananya bekerja tanpa integritas,” katanya.
Ia berharap agar temuan di MTs Muhammadiyah Iha Kulur menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak yang terlibat dalam proyek pembangunan pendidikan di Maluku. Menurutnya, publik tidak boleh diam terhadap praktik pembangunan yang buruk, karena setiap pembiaran akan melahirkan ketidakadilan baru.
“Kita tidak boleh toleran terhadap kebiasaan buruk ini. Jika proyek dikerjakan asal-asalan dan dibiarkan, itu artinya kita sedang mendidik generasi dengan contoh yang salah. Pembangunan harus dijalankan dengan hati, dengan kejujuran, dan dengan rasa tanggung jawab yang tinggi,” pungkasnya.
Desakan kuat untuk mengevaluasi CV Basudara bukan sebatas tuntutan moral, tetapi juga bagian dari upaya menegakkan prinsip keadilan dalam pembangunan. Sebab, pembangunan tanpa integritas pada akhirnya hanya akan meninggalkan reruntuhan, bukan kemajuan.***







































































Discussion about this post