Ambon, Maluku– Sejarah Hari Santri di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari jejak panjang perjuangan kaum santri dan ulama dalam membela kemerdekaan serta menegakkan nilai-nilai kebangsaan. Santri bukan hanya identik dengan sosok yang tekun mempelajari agama di pondok pesantren, tetapi juga pejuang sejati yang menempatkan kecintaan terhadap tanah air sebagai bagian dari keimanan. Sejak masa penjajahan Belanda hingga pendudukan Jepang, pesantren telah menjadi pusat perlawanan moral dan ideologis terhadap kekuasaan kolonial. Di tempat-tempat inilah benih kesadaran nasional mulai tumbuh, menyebar dari ruang-ruang ngaji menuju ruang perjuangan rakyat yang lebih luas.
Para ulama besar seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim, KH. Ahmad Dahlan, KH. Bisri Syansuri, dan banyak tokoh lainnya memainkan peran besar dalam membentuk kesadaran nasional umat Islam. Mereka menyadari bahwa perjuangan kemerdekaan bukan sekadar urusan politik, tetapi juga jihad dalam mempertahankan martabat manusia dan agama.
Pesantren-pesantren besar di Jawa dan luar Jawa menjadi benteng moral sekaligus tempat lahirnya gagasan kebangsaan yang menyatukan nilai-nilai Islam dengan semangat kemerdekaan. Dari pesantren Tebu Ireng, Lirboyo, Lasem, hingga Buntet, muncul gelombang perlawanan yang menegaskan bahwa agama dan nasionalisme tidak bisa dipisahkan.
Puncak peran santri dalam sejarah perjuangan bangsa terjadi pada 22 Oktober 1945, saat KH. Hasyim Asy’ari bersama para ulama se-Jawa dan Madura mengeluarkan seruan yang dikenal dengan Resolusi Jihad. Seruan itu disampaikan hanya beberapa minggu setelah proklamasi kemerdekaan, ketika bangsa Indonesia masih berada dalam situasi genting akibat kedatangan kembali pasukan sekutu yang disertai tentara Belanda. Dalam resolusi tersebut, para ulama menegaskan bahwa membela tanah air dari penjajahan merupakan kewajiban setiap muslim, sebuah kewajiban individu atau fardhu ‘ain.
Seruan itu menyebar cepat di kalangan santri dan rakyat, menyalakan semangat perlawanan di berbagai daerah, terutama di Surabaya. Gelora jihad itu kemudian melahirkan pertempuran besar 10 November 1945, yang di kemudian hari diperingati sebagai Hari Pahlawan. Pertempuran itu bukan semata perang fisik, melainkan bukti bahwa nilai spiritual, keberanian, dan cinta tanah air para santri menjadi fondasi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang baru saja lahir.
Namun, peran besar kaum santri itu tidak segera mendapat pengakuan formal dari negara. Butuh waktu puluhan tahun sebelum bangsa ini akhirnya menetapkan hari penghormatan khusus bagi mereka. Gagasan untuk memperingati Hari Santri sudah lama diperjuangkan oleh kalangan pesantren dan ormas Islam, terutama Nahdlatul Ulama, yang menginginkan agar jasa para ulama dan santri diakui secara resmi sebagai bagian penting dari sejarah nasional.
Setelah melalui berbagai pertimbangan, akhirnya pada 22 Oktober 2015 Presiden Joko Widodo menandatangani Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 yang menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Pengumuman itu disampaikan di Masjid Istiqlal Jakarta, dengan pesan utama bahwa santri adalah bagian tak terpisahkan dari perjuangan bangsa Indonesia. Penetapan ini menjadi simbol penghargaan negara terhadap nilai-nilai perjuangan yang lahir dari pesantren dan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin.
Hari Santri bukan sekadar peringatan seremonial, melainkan momentum reflektif untuk meneguhkan kembali komitmen kebangsaan dan nilai perjuangan. Dalam konteks masa kini, santri diharapkan mampu menjadi agen perubahan yang menggabungkan keteguhan spiritual dengan kecerdasan intelektual. Jika pada masa lampau santri berjuang dengan bambu runcing dan tekad jihad, maka santri masa kini berjuang melalui ilmu pengetahuan, teknologi, dan pengabdian sosial.
Perjuangan mereka bukan lagi melawan penjajahan fisik, tetapi melawan kebodohan, kemiskinan, dan ketidakadilan. Semangat jihad yang dahulu dimaknai sebagai pertahanan fisik kini berubah menjadi jihad intelektual, ekonomi, dan moral untuk memperkuat kemandirian bangsa.
Pesantren hari ini telah berkembang menjadi lembaga pendidikan yang berperan strategis dalam mencetak generasi berkarakter. Lebih dari empat puluh ribu pesantren tersebar di seluruh penjuru negeri, menjadi pusat pendidikan yang menanamkan nilai keikhlasan, kesederhanaan, dan kemandirian. Para santri tidak hanya mendalami ilmu agama, tetapi juga terlibat dalam pengembangan ekonomi umat, inovasi teknologi, dan kepemimpinan sosial. Mereka hadir di ruang-ruang publik sebagai guru, akademisi, aktivis, pengusaha, bahkan pejabat negara. Semua ini menunjukkan bahwa semangat santri terus hidup dan bertransformasi sesuai dengan tantangan zaman.
Sejak ditetapkan, peringatan Hari Santri setiap tahun membawa tema berbeda yang merefleksikan semangat zaman dan arah perjuangan bangsa. Tema-tema seperti Santri Siaga Jiwa dan Raga, Berdaya Menjaga Martabat Kemanusiaan, dan Jihad Santri Jayakan Negeri menunjukkan bagaimana makna jihad kini dipahami secara luas sebagai pengabdian tanpa kekerasan, perjuangan untuk kemajuan, dan kerja keras membangun martabat bangsa. Hari Santri menjadi ruang untuk menegaskan bahwa identitas keislaman tidak bertentangan dengan keindonesiaan, bahkan saling memperkuat.
Dalam perjalanan sejarah bangsa ini, santri telah membuktikan diri sebagai penjaga moral dan benteng ideologi negara. Mereka hadir dalam setiap fase penting republik ini—dari perjuangan fisik melawan penjajah hingga perjuangan intelektual membangun peradaban.
Sejarah mencatat bahwa tanpa keberanian santri dan bimbingan para ulama, mungkin kemerdekaan Indonesia tidak akan bertahan sekuat hari ini. Maka, Hari Santri bukan sekadar hari peringatan, melainkan pernyataan moral bahwa bangsa ini berdiri di atas nilai perjuangan, spiritualitas, dan pengabdian yang tulus dari kalangan santri.
Di tengah perubahan zaman yang begitu cepat, pesantren dan santri tetap menjadi sumber inspirasi bagi bangsa. Dari Resolusi Jihad 1945 hingga semangat inovasi hari ini, santri terus mengajarkan bahwa mencintai tanah air adalah bagian dari iman, bahwa berjuang membangun negeri adalah ibadah, dan bahwa menjaga persatuan adalah jihad yang tak pernah selesai. Karena itu, Hari Santri adalah pengingat abadi bahwa perjuangan para santri adalah perjuangan bangsa—sebuah perjalanan panjang dari laskar bersarung menuju penggerak peradaban Indonesia.***







































































Discussion about this post