Ambon, Maluku– Gereja Maranatha Ambon menjadi panggung sejarah bagi Gereja Protestan Maluku (GPM). Dalam atmosfer hangat dan menegangkan, ratusan utusan sinode menyaksikan lahirnya tiga pemimpin rohani baru: Pdt. S.I. Sapulette, Pdt. Riko Rikumahu, dan Pdt. Adriana Lohy.
Mereka bukan sekadar hasil pilihan suara mayoritas, tetapi hasil pergumulan batin seluruh tubuh gereja — tentang seperti apa wajah GPM lima tahun ke depan.
Di tengah riuh tepuk tangan dan doa yang mengalun, muncul keyakinan yang sama: inilah saatnya GPM menegaskan jati dirinya sebagai gereja yang tangguh, terbuka, dan berpihak pada kehidupan.
Pdt. S.I. Sapulette: Menahkodai Iman di Tengah Gelombang Zaman
Kemenangan Pdt. S.I. Sapulette sebagai Ketua Majelis Pekerja Harian (MPH) Sinode GPM bukanlah kebetulan, melainkan buah dari rekam jejak panjang dalam pelayanan yang teguh dan disiplin. Ia dikenal di kalangan rohaniawan Maluku sebagai figur yang berwawasan teologis tajam sekaligus peka sosial.
Latar belakangnya yang berakar di pelayanan jemaat dan pengalaman panjang mendampingi bidang pembinaan membuatnya matang dalam memimpin, tapi tetap rendah hati dalam mendengar.
Dalam setiap khutbah dan arahannya, Sapulette sering mengingatkan: “Gereja bukan menara gading, tapi rumah di mana kasih bekerja tanpa pamrih.”
Di sinilah kekuatannya — kemampuan menggabungkan ketegasan arah dengan kelembutan pastoral. Kemenangannya yang telak dalam Sidang Sinode ke-39 menjadi refleksi kebutuhan umat akan pemimpin yang tidak hanya pandai berteori, tetapi berani mengeksekusi arah pelayanan dengan keberanian profetis.
Di tangan Sapulette, banyak yang berharap GPM akan tampil bukan sekadar sebagai lembaga keagamaan, tapi sebagai kekuatan moral yang menuntun masyarakat Maluku menghadapi badai sosial: kemiskinan, krisis lingkungan, dan rapuhnya solidaritas.
Ia datang bukan membawa agenda pribadi, tapi membawa tekad untuk memimpin gereja dengan kompas iman dan nurani.
Pdt. Riko Rikumahu: Nafas Muda dalam Demokrasi Gereja
Jika Sapulette melambangkan keteguhan arah, maka Pdt. Riko Rikumahu adalah personifikasi energi baru dalam tubuh GPM. Kemenangannya yang tipis — hanya selisih lima suara — justru memperlihatkan indahnya demokrasi dalam gereja: bahwa setiap suara punya nilai, dan setiap pilihan punya makna.
Rikumahu dikenal luas sebagai figur yang dinamis, berpikiran terbuka, dan dekat dengan kaum muda. Ia pernah memimpin sejumlah kegiatan lintas iman, menggerakkan dialog antarjemaat, dan memperjuangkan isu-isu keadilan sosial di akar rumput.
Dalam pelayanannya, ia menolak model gereja yang tertutup pada zaman. Ia percaya bahwa iman tidak perlu takut berdialog dengan sains, budaya, dan digitalisasi. “Gereja harus menjadi ruang belajar bersama,” ujarnya dalam salah satu forum pembinaan sinodal.
Kini, posisinya sebagai Wakil Ketua I MPH Sinode GPM menjadi simbol regenerasi — sebuah penegasan bahwa GPM berani memberi ruang bagi generasi baru untuk ikut menulis arah sejarah. Dengan cara berpikir progresif tapi tetap berakar, Rikumahu diharapkan mampu menjembatani semangat tradisi dan kebutuhan zaman, menjadikan gereja tempat di mana iman bisa hidup berdampingan dengan inovasi.
Pdt. Adriana Lohy: Keteguhan Perempuan, Kelembutan Pelayanan
Di tengah dinamika dua pemilihan yang ketat, hadir sosok yang menenangkan: Pdt. Adriana Lohy. Ia melangkah ke kursi Wakil Ketua II tanpa pertarungan sengit — bukan karena tanpa lawan, tapi karena pengakuan penuh terhadap integritas dan dedikasinya.
Dengan 150 suara sah, ia menegaskan bahwa kepemimpinan gereja tak mengenal batas gender, melainkan berlandaskan pada panggilan dan kesetiaan.
Adriana adalah simbol dari kekuatan rohani perempuan yang tidak gentar mengambil tanggung jawab besar.
Dalam setiap pelayanannya, ia dikenal sebagai gembala yang setia mendengar dan mampu menenangkan umat di masa krisis. Ia bukan hanya organisator yang terampil, tetapi juga pengayom yang menghadirkan wajah kasih dalam tindakan nyata.
Baginya, pelayanan bukan jabatan, melainkan bentuk cinta yang diwujudkan dalam disiplin dan kesetiaan setiap hari.
Kehadiran Adriana di pucuk pimpinan GPM membawa pesan kuat: bahwa gereja harus menjadi ruang setara, di mana perempuan dan laki-laki berdiri sejajar dalam melayani. Ia menghadirkan keseimbangan dalam tim kepemimpinan — ketegasan yang dilunakkan oleh empati, keputusan yang dipandu oleh kasih.
Satu Tubuh, Banyak Karunia: Arah Baru GPM
Tiga nama, tiga karakter, satu tujuan: meneguhkan panggilan GPM sebagai gereja yang hidup dan melayani dengan hati.
Di tangan Sapulette yang kokoh, Rikumahu yang segar, dan Lohy yang hangat, gereja ini menapaki fase baru — fase yang menuntut keberanian untuk berubah tanpa kehilangan akar.
Mereka datang dari latar berbeda, tapi dipertemukan oleh satu roh: melayani Kristus di tengah dunia yang terus bergerak.
Kini, GPM punya kesempatan untuk menegaskan jati dirinya bukan hanya di mimbar, tapi di pasar, di laut, di jalan-jalan kampung — di mana kasih dan keadilan bersentuhan langsung dengan kehidupan.
Gereja Maranatha hari itu menjadi saksi: bahwa demokrasi gereja bukan sekadar memilih pemimpin, tapi mempercayakan masa depan iman kepada tangan-tangan yang siap bekerja.
Dan di pundak tiga pemimpin inilah, harapan itu kini berlayar — membawa GPM menembus gelombang zaman, dengan layar iman yang teguh, dan roh kasih yang tak pernah padam.***







































































Discussion about this post