Ambon, Maluku– Menjelang pemilihan Majelis Pekerja Harian (MPH) Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM), suasana di arena sidang kian menghangat. Ribuan mata tertuju pada proses yang akan menentukan arah pelayanan GPM lima tahun ke depan. Di tengah dinamika itu, satu nama berulang kali disebut dengan nada penuh hormat dan rasa ingin tahu: Pdt. S. Werinussa. Ia bukan tokoh yang suka tampil di depan, tetapi hampir setiap kebijakan strategis gereja beberapa tahun terakhir punya jejak pemikirannya. Tak heran bila sebagian menyebutnya “arsitek senyap” GPM.
Pdt. Werinussa tak muncul tiba-tiba di lingkaran pengambil keputusan. Akar pelayanannya terbentuk dari jalan panjang — dari aktivisme kampus hingga kerja pastoral di pelosok Maluku. Ia pernah menjadi Ketua Dewan Mahasiswa UKIM dan Ketua BPC GMKI Ambon pada awal 2000-an, masa yang membentuk kepekaan sosial dan kepemimpinan kritisnya. Di luar kampus, ia juga aktif dalam kerja-kerja kemanusiaan, termasuk membantu pemulangan pengungsi pascakonflik Maluku, sebuah pengalaman yang jelas meninggalkan bekas mendalam dalam cara pandangnya tentang gereja dan masyarakat.
Pelayanannya di GPM dimulai dari bawah: vikaris di jemaat kecil di Pulau Kisar, lalu bertahun-tahun menapaki tangga tanggung jawab — Ketua Majelis Jemaat, Sekretaris Klasis, hingga Ketua Klasis Masohi. Setiap peran dijalani bukan sebagai batu loncatan, melainkan ruang belajar untuk memahami denyut kehidupan umat di lapangan.
Visi globalnya makin terasah ketika ia mengikuti program English Immersion Experience di Melbourne pada 2017.
Pengalaman itu membuka cakrawala baru tentang bagaimana gereja bisa berpikir strategis tanpa kehilangan karakter pelayanan yang membumi. Maka ketika pada 2019 ia dipercaya memimpin Balitbang Sinode GPM, arah pelayanan mulai menunjukkan wajah yang lebih terencana, sistematis, dan berbasis data.
Di bawah kepemimpinannya, lahir berbagai dokumen penting seperti PIP-RIPP, RPPS menuju 1 Abad GPM, RPPK, dan RPPJ — istilah teknis yang di baliknya tersimpan mimpi besar tentang gereja yang berpikir jauh ke depan.
Namun di balik segala capaian itu, kepribadian Pdt. Werinussa tetap kontras dengan hiruk-pikuk politik organisasi gereja.
Ia tidak banyak bicara, tak gemar tampil di podium, dan lebih nyaman membiarkan gagasan bekerja ketimbang sorotan kamera.
Rekan-rekan sepelayan menggambarkannya sebagai sosok tenang dan rendah hati, seseorang yang memilih berdialog ketimbang berdebat. Dalam perbincangan tentang pemilihan Sekretaris Umum Sinode, ia pun tak menunjukkan ambisi pribadi.
“Bila Kristus, Kepala Gereja, menghendaki, maka saya siap melayani,” katanya pelan — kalimat sederhana yang menggambarkan orientasinya yang tak berpaling dari panggilan iman.
Kini, di tengah sidang Sinode ke-39 yang berlangsung di Gereja Maranatha Ambon, nama Pdt. S. Werinussa melambung sebagai simbol kontinuitas dan keteduhan di tengah dinamika yang kadang keras.
Apa pun hasil pemilihan nanti, warisan pikirannya sudah lebih dulu hidup dalam arah pelayanan GPM hari ini. Ia mungkin tak banyak bicara, tapi di balik langkah-langkah gereja menuju satu abadnya, gema kerja senyapnya terdengar paling jelas.***







































































Discussion about this post