Ambon, Maluku– Surat pemberitahuan yang diterbitkan oleh Sekretariat Daerah Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) tertanggal 23 Oktober 2025 menuai perhatian karena terdapat ketidaktepatan dalam penggunaan istilah kepegawaian. Dalam surat tersebut disebutkan bahwa seluruh “ASN/PPPK dan Non ASN paruh waktu” diminta untuk mengikuti upacara peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-97. Sekilas kalimat tersebut tampak formal dan wajar, namun jika ditelaah berdasarkan regulasi terbaru, terdapat kekeliruan mendasar dalam pengelompokan status pegawai, khususnya terkait penyebutan “Non ASN paruh waktu”.
Merujuk pada Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenpanRB) Nomor 16 Tahun 2025 tentang Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Paruh Waktu, ditegaskan bahwa PPPK Paruh Waktu merupakan bagian dari Aparatur Sipil Negara (ASN).
Regulasi tersebut menegaskan bahwa pegawai dengan status PPPK Paruh Waktu memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai ASN, hanya saja dengan pengaturan jam kerja dan beban kerja yang bersifat fleksibel sesuai kebutuhan instansi. Dengan demikian, penggunaan istilah “Non ASN paruh waktu” sebagaimana tertulis dalam surat Pemkab SBB jelas tidak merujuk pada ketentuan yang berlaku, karena konsep “Non ASN paruh waktu” tidak dikenal dalam sistem kepegawaian negara.
Ketidaktepatan terminologi ini bukanlah perkara sepele. Dalam tata kelola pemerintahan yang berbasis regulasi, penggunaan istilah yang tidak sesuai dapat menimbulkan kerancuan administratif dan berdampak pada pemahaman status hukum pegawai.
Apabila pegawai PPPK Paruh Waktu dikategorikan sebagai “Non ASN”, maka secara tidak langsung hal itu dapat memunculkan persepsi keliru mengenai hak, kewajiban, serta perlakuan administrasi kepegawaian mereka.
Kesalahan semacam ini juga berpotensi menimbulkan implikasi pada aspek akuntabilitas dan pengelolaan sumber daya manusia aparatur di daerah.
Kebijakan pemerintah pusat melalui MenpanRB Nomor 16 Tahun 2025 justru dirancang untuk menata kembali status tenaga honorer dan non-ASN agar beralih ke dalam skema ASN melalui jalur PPPK, termasuk skema paruh waktu.
Tujuannya adalah memberikan kepastian hukum, meningkatkan profesionalisme, serta memastikan kesejahteraan pegawai yang selama ini bekerja dalam posisi tidak tetap. Oleh karena itu, penyebutan “Non ASN paruh waktu” justru kontraproduktif terhadap semangat reformasi birokrasi dan penataan kepegawaian nasional yang tengah digalakkan pemerintah.
Pemerintah Daerah, sebagai ujung tombak pelaksanaan kebijakan, seyogianya berhati-hati dalam menggunakan istilah yang berkaitan dengan status kepegawaian. Setiap dokumen resmi yang diterbitkan pemerintah daerah bukan hanya bersifat administratif, tetapi juga menjadi acuan hukum dan instruksi yang mengikat bagi seluruh perangkat daerah.
Kesalahan redaksional yang menyalahi regulasi pusat dapat menimbulkan multitafsir dan berimplikasi pada ketidakteraturan pelaksanaan kebijakan kepegawaian di lapangan.
Koreksi terhadap surat tersebut perlu dilakukan agar tidak menimbulkan salah persepsi di kalangan pegawai. Pemerintah Kabupaten SBB semestinya merevisi redaksi surat menjadi lebih tepat, misalnya dengan menyebut “ASN, termasuk PPPK Paruh Waktu, serta pegawai non-ASN yang masih terdaftar”.
Pembenahan seperti ini tidak hanya menunjukkan ketelitian administrasi, tetapi juga komitmen terhadap kepatuhan regulasi dan profesionalitas birokrasi.
Ketepatan dalam menggunakan istilah bukan sekedar persoalan bahasa, tetapi cerminan keseriusan pemerintah daerah dalam menjalankan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Dalam konteks ini, kekeliruan redaksional harus dijadikan pelajaran penting agar setiap kebijakan yang dikeluarkan benar-benar sejalan dengan norma hukum dan semangat reformasi birokrasi yang tengah diupayakan secara nasional.***







































































Discussion about this post