- Oleh : Adam Talapuka, Direktur Maluku Transparansi
Ambon, Maluku– Maluku sudah sejak lama berdiri sebagai saksi bahwa Indonesia lahir bukan dari kekuasaan, tetapi dari jeritan dan harapan rakyat di wilayah-wilayah yang nyaris tidak didengar pusat. Ketika Sumpah Pemuda dikumandangkan pada 28 Oktober 1928, Maluku bukan hanya hadir sebagai nama suku di dalam ikrar, tetapi sebagai roh keberanian dari timur bahwa bangsa ini harus berdiri atas nama persatuan yang sungguh-sungguh, bukan persatuan yang hanya ada di atas panggung.
Tetapi hari ini, banyak dari kami, rakyat kecil di Maluku, bertanya dalam hati, apakah Indonesia masih mendengar suara dari sisi timur negeri ini? Listrik masih padam bergilir, akses pendidikan tidak merata, lapangan kerja sempit, dan suara rakyat kecil sering hanya dianggap bayangan yang tidak penting dalam laporan negara. Kami tidak iri pada kota-kota besar yang kami pertanyakan hanyalah: apakah kami masih dianggap bagian dari bangsa ini?
Sumpah Pemuda dulu menyatukan kami dalam nama Indonesia. Tapi hari ini, justru kami yang harus mengingatkan negara bahwa sumpah itu pernah lahir dan sumpah itu bukan milik Jakarta, bukan milik elite politik, tetapi milik seluruh anak bangsa, termasuk dari Maluku.
Hari ini kami di Maluku tidak butuh janji persatuan yang hanya indah dalam pidato pejabat. Kami butuh bukti bahwa negara masih mengerti bahwa Indonesia bukan hanya Jakarta dan kota-kota besar di Jawa. Jangan datang berbicara tentang nasionalisme, jika negara tidak pernah merasakan lapar dan ketidakpastian hidup yang rakyat kecil di timur alami setiap hari. Karena nasionalisme tanpa keadilan hanyalah propaganda. Dan persatuan tanpa keberpihakan hanyalah penipuan.
Pemuda 1928 bersumpah “satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa” tetapi sumpah itu tidak pernah berkata “satu pusat kekuasaan, satu peta pembangunan yang timpang, satu negara yang hanya berpihak pada mereka yang dekat dengan modal dan kekuasaan.” Jika Sumpah Pemuda hari ini hanya menjadi dekorasi perayaan, bukan dasar keberanian untuk menegur kekuasaan, maka sumpah itu telah dikhianati.
Karena kenyataannya, pembangunan di negeri ini nyaris selalu bergerak searah: dari barat ke timur bukan sebaliknya. Kami di Maluku sudah terlalu lama menunggu giliran untuk dianggap serius sebagai bagian penting dari republik ini, bukan hanya sebagai latar eksotik dalam brosur pariwisata atau bahan pidato pejabat pusat. Jangan bicara tentang “Cinta Indonesia dari Sabang sampai Merauke” jika Maluku dan saudara-saudaranya di timur hanya dijadikan baris terakhir dalam urutan prioritas pembangunan.
Di banyak wilayah timur, sekolah masih roboh, akses internet tidak merata, listrik padam bergilir, dan biaya hidup jauh lebih tinggi dibanding kota-kota besar di Jawa. Tetapi negara tetap menilai kami hanya sebatas angka di dalam statistik. Tidak pernah benar-benar melihat wajah manusia di balik angka itu manusia yang masih berjuang menjaga tanah, menjaga laut, menjaga martabat negeri ini walau sering tidak dibalas keadilan.
Yang lebih mengerikan dari ketidakadilan adalah ketika negara mulai menganggap ketidakadilan itu sebagai hal yang biasa. Karena pada saat itu, rakyat kecil tidak lagi melihat negara sebagai pelindung, tetapi sebagai penghalang harapan. Jika rasa percaya kepada negara hilang, maka yang akan muncul bukan hanya kekecewaan tetapi kemarahan yang tidak bisa lagi dikendalikan oleh pidato dan slogan persatuan.
Maluku adalah wilayah yang paling tahu bagaimana rasanya ditinggalkan, tetapi tetap bertahan menjadi bagian dari Indonesia. Tapi ketahuilah ini baik-baik: kesetiaan rakyat tidak bisa diuji selamanya tanpa keadilan. Bangsa ini tidak akan jatuh karena serangan dari luar, tetapi akan runtuh dari dalam jika rakyatnya berhenti percaya, jika rakyat kecil merasa bahwa mereka tidak lagi diakui keberadaannya.
Karena jika negara masih terus abai, maka bukan saatnya kami hanya menunggu belas kasihan dari pusat. Pemuda dari timur dari Maluku harus kembali berdiri seperti para pendahulu 1928: bukan sebagai penonton sejarah, tetapi sebagai penentu arah bangsa. Kami tidak boleh diam. Kami tidak boleh hanya menerima narasi dari mereka yang tidak pernah mengerti kenyataan kami. Sumpah Pemuda tidak lahir dari kenyamanan sumpah itu lahir dari keberanian untuk berkata: Indonesia harus adil untuk semua, atau tidak layak disebut Indonesia.
Dan bila negara lupa, maka biarlah suara timur yang pertama mengingatkan.
Bukan untuk memberontak tetapi untuk menyelamatkan martabat bangsa ini dari kehancurannya sendiri.
Karena jika pemuda timur bangkit, maka Indonesia akan kembali punya harapan.***







































































Discussion about this post