Ambon — Fenomena kekerasan yang terus berulang di Maluku, khususnya di Kota Ambon, menjadi sorotan tajam dalam Dialog Keamanan dan Ketertiban (Doktrin) yang digagas Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah (PWPM) Maluku.
Forum edukatif dan reflektif ini digelar sebagai ruang dialektika publik untuk membedah akar persoalan konflik sosial sekaligus mempertanyakan tanggung jawab negara dan aparat keamanan dalam menjamin rasa aman warga.
Ketua PWPM Maluku, Rimbo Bugis, dalam kapasitasnya sebagai keynote speaker, menegaskan bahwa dialog ini lahir dari kegelisahan pemuda Muhammadiyah melihat konflik yang cenderung berulang dan seolah tak pernah tuntas.
Menurutnya, berbagai kemungkinan perlu dianalisis secara jujur dan mendalam, apakah kekerasan yang terjadi bersifat alamiah akibat dinamika sosial, atau justru hasil dari skenario dan kelalaian struktural.
Ia menekankan pentingnya keberanian pemuda untuk mengajukan hipotesis kritis agar publik tidak terus berada dalam lingkaran kekerasan tanpa kejelasan penyelesaian.
Dialog ini menghadirkan akademisi dan pakar kebijakan publik Dr. Nataniel Elake serta tokoh senior Muhammadiyah Maluku yang juga Anggota DPRD Maluku dari PAN, Wahid Laituppa.
Keduanya dipandang sebagai figur dengan ketenangan dan kejernihan berpikir dalam menghadapi ujian panjang perjalanan akademik dan politik, bahkan disimbolkan sebagai sosok yang membawa nilai kebijaksanaan dan keteguhan prinsip dalam ruang publik Maluku.
Dr. Nataniel Elake dalam paparannya menegaskan bahwa pemuda memiliki tanggung jawab moral untuk mengoreksi institusi penegak hukum, khususnya kepolisian, ketika kejahatan terjadi namun tidak terselesaikan dengan baik.
Ia menyoroti fenomena kekerasan yang melahirkan kekerasan baru secara berantai dan tak berujung, yang menunjukkan lemahnya kehadiran negara dalam fungsi dasarnya sebagai pemberi jaminan keamanan dan kenyamanan bagi warga.
Menurutnya, negara tidak boleh absen atau membiarkan ruang ketidakpastian tumbuh di tengah masyarakat.
Sementara itu, Wahid Laituppa mengaku fenomena kekerasan yang terjadi membuat hati nuraninya teriris. Ia memandang konflik sosial sebagai sesuatu yang wajar dalam kehidupan manusia, bahkan persoalan kecil dalam relasi personal.
Namun, kekerasan yang berulang menunjukkan rendahnya kesadaran sosial, ditambah faktor politik, ekonomi, hingga identitas yang membuat sebagian individu atau kelompok merasa lebih unggul dan merendahkan yang lain.
Ia mengingatkan agar setiap peristiwa kekerasan tidak digeneralisasi ke dalam identitas suku atau kelompok tertentu, karena hal itu hanya memantik emosi kolektif dan memperluas konflik. Menurutnya, penyampaian fakta harus spesifik dan objektif, disertai pesan-pesan damai yang bijaksana, terutama di media sosial.
Wahid juga menegaskan bahwa tidak ada satu pun agama, baik Islam, Kristen, maupun lainnya, yang mengajarkan kekerasan.
Ia mengajak pemuda untuk menjadi pelopor perdamaian di Maluku, menjaga harmoni sosial, dan menumbuhkan nilai kemanusiaan sebagai fondasi hidup bersama. Prinsip hidupnya, memberi yang terbaik dan menghadirkan kenyamanan bagi sesama, diharapkan dapat menginspirasi masyarakat luas.
Pemikiran kritis juga datang dari Prof. Dr. Anderson Leonardo Palinussa yang menilai persoalan kekerasan tidak bisa dilepaskan dari kelalaian pihak-pihak berwenang dalam melakukan mitigasi dini. Ia menilai perlu ada langkah konkret, termasuk mendorong pendirian satuan kepolisian di kawasan rawan konflik seperti Kebun Cengkeh.
Ia mengapresiasi keberanian Pemuda Muhammadiyah Maluku yang dinilai harus terus bersuara lebih keras untuk melakukan koreksi sosial demi dampak positif bagi pembangunan daerah.
Ia juga menekankan pentingnya menjaga eksistensi kemalukuan yang berkarakter kuat, lembut dalam sikap namun tegas dalam prinsip persaudaraan, serta mendorong ormas, OKP, dan elemen kepemudaan lainnya untuk saling mendukung dan menjaga keharmonisan lintas organisasi tanpa saling menyalahkan.
Hadir pula Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Muhammad Anshari, yang memberikan apresiasi tinggi atas inisiatif PWPM Maluku.
Mantan ketua Pemuda Muhammadiyah Maluku itu menilai dialog ini sebagai contoh peran strategis pemuda dalam merawat nalar kritis, memperkuat kesadaran kolektif, dan mendorong terciptanya keamanan berbasis keadilan sosial.
Anshari menegaskan bahwa agenda seperti ini penting untuk terus diperluas agar pemuda tidak hanya menjadi penonton, tetapi aktor utama dalam menjaga perdamaian dan masa depan Maluku.***




































































Discussion about this post