Ambon, Maluku– Pernyataan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Daerah Maluku, Marsekal Pertama R. Harys Soeryo Mahendro, terkait politik identitas dan dugaan intimidasi pemilih dalam Pilkada Kabupaten Buru menuai kritik. Banyak pihak menilai pernyataan itu terlalu terbuka dan berisiko memperkeruh situasi politik menjelang Pemungutan Suara Ulang (PSU) pada 5 April 2025.
“Kami melihat ada dinamika politik identitas yang harus diwaspadai. Jangan sampai perbedaan asal-usul digunakan untuk memecah belah masyarakat dalam Pilkada,” ujar Harys dalam acara buka puasa bersama awak media di Basnup Cafe & Resto Pandan Kasturi, Ambon, Sabtu (22/3).
Selain itu, ia juga menyoroti dugaan intimidasi terhadap pemilih serta praktik politik uang di sejumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS).
“Ada laporan tentang upaya transfer suara serta ancaman terhadap warga untuk memilih pihak tertentu. Ini menjadi perhatian serius agar proses demokrasi berjalan dengan jujur dan adil,” tambahnya.
Pernyataan ini memicu reaksi beragam. Sebagian pihak menganggap keterbukaan BIN dapat meningkatkan kesadaran publik terhadap potensi pelanggaran pemilu. Namun, tak sedikit yang menilai pernyataan tersebut justru dapat menimbulkan spekulasi yang memperkeruh situasi politik di Kabupaten Buru.
Sekretaris Wilayah Generasi Muda Pembangunan Indonesia (GMPI) Maluku, Soetrisno Hatapayo, menilai peringatan BIN harus dilihat dalam konteks yang lebih luas.
“Politik identitas bukan sekadar soal asal-usul, tapi juga bisa mencakup sentimen keagamaan, kesukuan, dan perbedaan ekonomi. Jika tidak dikelola dengan baik, hal ini bisa memicu polarisasi yang berbahaya,” ujarnya.
Namun, ia juga mengkritik cara BIN menyampaikan informasi ini secara terbuka di ruang publik.
“Kami memahami peran BIN dalam menjaga stabilitas, tetapi isu politik identitas dan dugaan pelanggaran pemilu seharusnya ditangani oleh Bawaslu dan KPU, bukan menjadi materi paparan di ruang publik,” tegasnya.
Menurutnya, komunikasi yang terlalu terbuka dari BIN bisa menimbulkan kesan bahwa lembaga intelijen turut campur dalam proses politik lokal.
“Kami berharap BIN tetap menjalankan fungsinya dalam mendeteksi dan mengantisipasi ancaman keamanan tanpa menciptakan kegaduhan politik,” tambahnya.
Selain politik identitas, BIN Maluku juga menyoroti dugaan intimidasi pemilih dan politik uang di Pilkada Buru. Jika benar terjadi, ini menunjukkan lemahnya pengawasan dalam proses demokrasi di daerah tersebut.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Maluku didesak untuk segera menyelidiki dugaan tersebut.
“Jika memang ada intimidasi pemilih atau praktik politik uang, BIN seharusnya melaporkannya kepada Bawaslu untuk ditindaklanjuti sesuai mekanisme hukum,” kata praktisi hukum itu.
Namun hingga saat ini, Bawaslu Maluku belum memberikan tanggapan resmi terkait pernyataan BIN. Jika tidak ada langkah konkret, pernyataan tersebut bisa semakin memperuncing dinamika politik di Kabupaten Buru.
Pernyataan BIN Maluku menimbulkan pertanyaan besar: Apakah netralitas Pilkada di Kabupaten Buru benar-benar terancam?
Sebagian pihak menilai bahwa keterlibatan intelijen dalam pemantauan politik bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, BIN berperan dalam mendeteksi ancaman sejak dini. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, bisa menimbulkan kesan bahwa lembaga negara turut bermain dalam kepentingan politik tertentu.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak yang diduga terlibat dalam praktik politik identitas dan intimidasi pemilih di Pilkada Buru.
Kini, publik menunggu langkah konkret dari Bawaslu dan aparat penegak hukum untuk memastikan Pilkada Buru berlangsung secara adil dan bebas dari tekanan politik. Jika tidak ada tindakan tegas, kekhawatiran terhadap netralitas pemilu di Buru bisa semakin meningkat.***