- Oleh: Arman Kalean, M.Pd | Kepala Pusat Kajian Musik Islam IAIN Ambon
Ambon, Maluku– Berangkat dari Ambon City of Music, Kota satu-satunya di Republik ini yang dianugerahi predikat Kota Musik berdasarkan kriteria UNESCO. Perjuangan Glenn Fredly Deviano Latuihamallo, Penyanyi Mega Bintang asal Ambon, Ambon resmi sebagai Kota Musik pertama di Asia Tenggara sejak 2019.
Sebagai Anak Ambon, almarhum Glenn tentu paham benar, bahwa Kota ini pernah mengalami konflik sosial yang mencekam, menyembabkan banyak kemunduran di berbagai sendi. Glenn hadir dengan spirit perdamaian, yang kurang lebih sama dengan Rafly Kande, seorang Musisi Etno asal Aceh Darussalam.
Dari rekam perjalanan hidupnya, kita bisa melihat detil perjuangan Glenn untuk membangkitkan Musisi Lokal asal Indonesia Timur. Beberapa project yang digarapnya, Glenn mendatangkan Musisi Lokal dengan turut melibatkan Hiphop Ambon, terlibat menghasilkan Film epik tentang Jalan Perdamaian melalui Sepak Bola dari kisah Sani Tawainella. Di dalam film tersebut juga, terdapat Musisi Slank, Gitaris Ridho Hafiedz, yang punya Ibu asal Ambon Hj. Sien Ely. Selain itu, Glenn juga terlibat dalam inisiasi terbentuknya Pusat Kajian Musik Islam di IAIN Ambon.
Sang pelantun “Kasih Putih” itu juga melibatkan diri pada persoalan Ekologi. Beberapa jejak perjuangannya dalam donasi untuk wacana Efek Rumah Kaca, hingga masalah krisis Air di salah satu Desa Nusa Tenggara Timur, menunjukkan bahwa Musik bukan sebatas pada ekspresi kepentingan individual, melainkan untuk kebermanfaatan sosial yang lebih luas.
Terus Bicara Musik dan Perdamaian
Sebagai Orang Maluku yang cinta damai, tentu kita telah mempraktikan Musik dan Perdamaian. Wujud ekspresi itu dapat dilihat baik dalam momentum atau pada perhelatan tertentu, anda bisa melihat bagaimana Tarian Sawat yang pesertanya berbeda Kampung dan Agama juga turut serta ikut menari dengan musik sawat yang diputar di suatu acara Paguyuban. Atau, anda bisa menikmati tiupan terompet lagu Islami di depan Gereja Silo oleh para Peniup yang beragama Kristen, saat menyambut pawai Malam Takbiran di Kota Ambon.
Dari dua konteks di atas, musik dapat menjadi media menumbuhkan situasi sejuk guna mengeliminir konflik berlatar budaya, juga konflik berlatar agama. Saya kira, di seantero Indonesia, pasti punya ceritanya sendiri, dan pengalaman sejuknya pada waktu dan ekspresi musikal yang berbeda. Tapi tetap dalam nuansa memelihara perdamaian, menjaga ikatan emosional lintas perbedaan.
Pada skala global, terdapat agenda seperti World Peace Forum yang menyuguhkan orkestrasi alat musik yang indah, sekaligus memuat pesan perdamaian. Beberapa perjumpaan dengan tema serupa juga bisa anda lihat di YouTube, banyak saluran yang mengunggah bagaimana musik dapat melintasi batas keragaman, sekaligus keberagamaan untuk mencari titik temu.
Dari dunia Islam, sejumlah nama seperti Ibnu Misjah, yang menemukan metode untuk memadukan musik khas Persia, Arab, Turki, dan Syiria, agar dapat beradaptasi dengan daerah tertentu. Ada juga nama besar seperti Ishaq Ibnu Ibrahim al-Mausuli yang terkenal dengan karyanya Kitab “al-Han wa al-Angham (Buku Not dan Irama)”, Ishaq mendapat julukan Imam al-Mughanniyyin (Raja Penyanyi).
Sementara itu, saat Daulah Abassiyah berkuasa, banyak pula didirkan Sekolah Musik. Sewaktu Islam berkuasa di Spanyol, tepatnya di Seville, banyak dijumpai pabrik alat musik yang memproduksi Kecapi, Gitar, dan Rebab.
Kisah Musik dalam Islam, tidak berhenti di situ. Islamisasi di Nusantara juga kerap menggandeng istrumen musik. Di antara Wali Songo, dengan corak sufistik, mereka tidak anti terhadap berbagai alat musik lokal. Islamisasi seperti inilah yang barangkali lekas memperluas zona dakwah, hingga ke Indonesia bagian Timur. Hingga saat ini, kita jumpai banyak musik etnik yang bertaut Islam, seturut jejak gaya Syiar Islam ala Sufi. Endapan aliran musik seperti gaya Qawwali, bisa anda jumpai di Kampung-kampung Islam yang jauh di pedamalan.
Spirit kolaboratif semacam begini, memang sudah ada sejak Nabi Muhammad SAW, kita bisa mempelajari bagaimana asal Qasidah Burdah. Hingga latar belakang lahirnya Kitab al-Barzanji, dimana Salahuddin al-Ayyubi, saat itu melihat semangat Pasukan Muslim yang kurang, maka dibuatlah sayembara syair, selanjutnya syair itu dinyanyikan oleh Pasukan Salahuddin sebagai penyemangat memasuki Yerusalem. Pada kisah berikutnya, anda bisa melihat bagaimana sosok Salahuddin yang adil memerintah di tengah keberagamaan.
Pada prinsipnya, selama musik dikemas sedemikian rupa, tidak melakukan inovasi berlebihan saat dipadukan dengan konteksnya, maka musik mampu dinikmati sebagai media perdamaian yang tidak melanggar aturan dalam Hukum Teologi. Artinya, Musik tidak akan sampai termasuk “barang haram” di dalam kaidah Islam, atau kaidah agama lainnya.
Saatnya Bicara Musik dan Ekoteologi
Bila Glenn menggunakan musik sebagai sarana untuk mengumpulkan donasi bagi permasalahan lingkungan, maka musik seharusnya dapat digunakan untuk menumbuhkan kesadaran terhadap lingkungan. Layaknya musik dalam Sufisme, sebagai pengantar dalam Hadrah atau Zikir dengan gerakan oleh Tarekat Maulawiyah (pengikut Jalaludin Rumi). Musik sebagai relaksasi, juga digunakan untuk meditasi oleh ajaran spiritual Agama Bumi, misalnya Yoga.
Musik kerap pula diperdengarkan untuk penderita Kanker stadium akhir, untuk membiasakan kecerdasan saat Bayi masih di dalam perut Ibunya, dan untuk meningkatkan motivasi belajar para siswa pada mata pelajaran tertentu dengan paduan gaya musik Hiphop atau Rap. Jabaran tersebut membuktikan bahwa, musik mampu mempengaruhi alam bawah sadar, juga mempengaruhi aktivitas kerja otak.
Kita ketahui bahwa musik SKA dan musik RAP adalah musik yang mempunyai latar sejarah perlawanan. Musik Rap, berawal dari protes Budak Kulit Hitam di Kapal-kapal Kolonial Portugal yang rute berlayarnya ke Amerika Latin. Rap merupakan ekspresi duka dan rindu kepada negeri asal, biasa dinyanyikan seperti orang bercerita, nyanyian sendu ini diawali oleh para Budak Perempuan di atas Kapal-kapal tersebut. Lalu, mereka akan bernyanyi dan menari sambil menginjak lantai kapal dengan bunyi irama tertentu. Dari sinilah Rap memulai ceritanya, makanya Rapper Eminem dan istilah “Nigga” di Amerika Serikat, punya kisah tersendri, meskipun Rapper seperti Dr. Dre (kulit hitam), turut membantu karir Eminem.
Lain hal Rap, musik SKA berakar pada sejarah Pasca Perang Dunia Pertama. Dimana banyak Pejuang Tentara yang meninggal, diantar dengan iringan musik duka, ada bunyi alunan Saksofon. Aliran ini lalu berkembang, seturut gaya berbusananya. Dimana kaki celana diangkat di atas mata kaki, gaya busana ini, anda dapat melihantnya pada beberapa gaya busana Michael Jackson. Gaya busana ini terinspirasi dari gerakan protes melalui simbol pakaian di era revolusi industeri, kelompok laki-laki yang enggan bekerja di pabrik, melakukan protes dengan menggunakan celana yang irit bahan, celananya jadi ketat dan pendek di atas mata kaki. Mereka dikenal dengan istilah “Free Man”, dari segi morfologi bahasa, Sebagian orang meyakini akar kata Preman berasal dari istilah Free Man tersebut.
Intinya, musik digunakan sebagai saluran rasa protes. Sama halnya musik Punk, yang enggan menggunakan gitar akustik, karena gitar tersebut dianggap mewakili selera musik kaum borjuis atau kaum bangsawan, di saat makan di restoran atau tempat mewah. Petikan nada rendah dari gitar bass, mungkin dianggap mewakili suara kaum tertindas, proletar, atau kaum melarat lainnya, untuk lebih bersemangat dalam menyampaikan kritik atau protes.
Agar sampai pada kesadaran Ekoteologi melalui musik, kita butuh berbagai sentuhan instrumen musik, berbagai aliran, berbagai paduan etno musik, untuk menciptakan suatu kesadaran terhadap lingkungan. Tidak sebatas kritik parsial dengan satu aliran cadas, atau tidak sebatas pada satu pengantar teologis semata. Kita perlu musikalitas dengan visi membawa kesadaran cinta agama dan cinta lingkungan sekaligus, seperti kolaborasi musik etno dan Rap oleh grup musik “Orang Hutan Squad”.
Sebab, alur kesejahteraan itu diawali dengan situasi kedamaian. Mana mungkin investor mau masuk kalau di suatu wilayah, terus terjadi konflik, atau masih ada latensi konflik. Untuk itu, Ambon sebagai Kota Musik sudah harus benar-benar menjalankan dan meluaskan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2019 tentang Ambon Kota Kreatif Berbasis Musik, di segala aspek. Kesejahteraan Musisi lokal perlu diperhatikan secara baik, melalui pendekatan sistem. Misalnya, standarisasi harga bagi para Musisi lokal, saat menghibur di Restoran berkelas di Kota Ambon, juga harus diperhatikan.
Meminjam pikiran dari Robin Malau, ekosistem musik di Kota Ambon perlu dibenahi. Kalau selama ini Musisi kota Ambon sudah jadi agen perdamaian, baik langsung ataupun tidak, maka saat ini mereka sudah harus didukung oleh support system yang lebih tepat sasaran, dalam rangka peningkatan ekonomi. Saya yakin, karya etno musik yang dapat membangkitkan kesadaran teologis dan kesadaran ekologi, dapat dibuat oleh Musisi kita.
Sebagai gebrakan awal memperingati hari musik nasional di tahun 2025 ini, barangkali eksekusi keseriusan Pemerintah Kota (Pemkot) adalah dengan upaya menggaungkan Kongres Musik Nasional di Kota Ambon. Sebagai Kepala Pusat Kajian Musik Islam IAIN Ambon, saya siap mendukung Pemkot Ambon dengan kajian-kajian seputar Etno Musik Islam di Maluku.
Selamat merayakan Hari Musik Nasional bagi semua Insan Musik, selamat menjalankan ibadah Puasa. Semoga musik juga, dapat menjadikan kita tidak alergi dengan perbedaan, dan membawa kejahteraan bersama.