Catatan: Soetrisno Hatapayo
Di sebuah negeri kecil di pesisir selatan Pulau Seram, seorang anak laki-laki lahir pada 9 September 1926. Ia diberi nama Abdul Muthalib Hatapayo, yang kelak lebih dikenal sebagai TBR Hatapayo. Negeri Tehoru, tempat ia tumbuh, bukan sekadar kampung halaman, tetapi juga tanah yang membentuk karakter dan semangat juangnya.
Sejak kecil, TBR Hatapayo menyaksikan bagaimana rakyat di sekitarnya hidup dalam keterbatasan. Namun, ia juga melihat bagaimana orang-orang Tehoru memiliki semangat bertahan hidup yang luar biasa. Laut dan hutan memberi mereka kehidupan, tetapi juga tantangan yang harus ditaklukkan.
Ketika usianya menginjak remaja, gelombang perubahan mulai terasa. Indonesia yang saat itu masih berada di bawah penjajahan Belanda, mulai bergolak dengan semangat perjuangan. Di tengah situasi ini, TBR Hatapayo merasakan panggilan untuk keluar dari Tehoru, mencari pengalaman, dan berbuat lebih banyak untuk bangsanya.
Mengarungi Samudera, Mengabdi untuk Negeri
Pada tahun 1946, di usia 20 tahun, TBR Hatapayo meninggalkan Seram Selatan dan bekerja sebagai pegawai pelayaran. Pekerjaan ini membawanya ke berbagai pelabuhan di Indonesia, mempertemukannya dengan berbagai realitas kehidupan rakyat.
Semakin jauh ia berlayar, semakin besar pula keinginannya untuk terlibat dalam perjuangan kemerdekaan. Tahun 1948, tanpa ragu ia mendaftarkan diri sebagai prajurit ABRI/TNI-AD dan ditempatkan di Yon 714 Kodam XV Pattimura.
Sebagai seorang tentara, TBR Hatapayo menjalani berbagai tugas di berbagai wilayah. Tahun 1955, ia menjadi pengawal keamanan di RST Dustira TT III Siliwangi, Cimahi, Jawa Barat, sebelum akhirnya kembali ke Ambon pada Agustus tahun yang sama dan bertugas di Resimen 25 TT VII Wirabuana.
Dalam dirinya, ia tahu bahwa perjuangan tidak hanya dilakukan di medan perang. Ada medan lain yang lebih membutuhkan keberanian—dunia perburuhan dan politik.
Tahun 1956 menjadi titik balik dalam hidupnya. TBR Hatapayo memutuskan untuk meninggalkan militer dan bekerja di Jawatan Penguasa Pelabuhan Ambon. Tapi ia tidak sekadar bekerja; ia segera terlibat aktif dalam organisasi buruh dan menjadi Ketua Umum Serikat Buruh Djawatan Pelabuhan Ambon (SBDPA).
Perjuangannya untuk kaum buruh semakin kuat ketika pada tahun 1958 ia diangkat sebagai Ketua Umum Ikatan Buruh Umum (IBU) untuk Maluku dan Irian Barat. Ia juga aktif dalam organisasi pemuda nasional dengan menjadi Komisaris Pemuda Republik Rakyat Indonesia (PARRI), serta memimpin Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia (SOBRI) untuk wilayah Maluku dan Irian Barat.
Dunia politik pun mulai menarik perhatiannya. Tahun 1960, Partai Murba—partai yang didirikan oleh Tan Malaka dan dikenal sebagai penentang keras PKI—mempercayakan TBR Hatapayo sebagai Komisaris Dewan Partai Murba untuk Maluku dan Irian Barat.
Keberanian dan kepemimpinannya dalam memperjuangkan hak-hak buruh serta melawan dominasi politik tertentu membuatnya diperhitungkan di kancah nasional.
Menjadi Wakil Rakyat dan Kejatuhan Partai Murba
Tahun 1962, TBR Hatapayo mendapatkan amanah besar. Ia terpilih sebagai anggota DPR-GR dan menjabat sebagai Wakil Ketua Seksi I DPR-GR Provinsi Maluku. Ini adalah pencapaian besar bagi seorang pemuda asal Tehoru yang pernah bekerja sebagai pegawai pelayaran dan buruh pelabuhan.
Namun, langit politik Indonesia segera berubah kelam. Tahun 1965, Partai Murba mengalami tekanan hebat dari PKI. Dengan Keputusan Presiden Nomor 291 Tahun 1965, partai ini dibubarkan. TBR Hatapayo, bersama para tokoh Murba lainnya, mengalami masa sulit karena kehilangan wadah perjuangan politiknya.
Ketika peristiwa G30S/PKI terjadi, Bung Adam Malik menginstruksikan eksponen Partai Murba untuk bergabung dengan Orde Baru dalam melawan PKI. TBR Hatapayo ikut serta dalam perlawanan ini, kembali menegaskan posisinya dalam sejarah politik Indonesia.
Orde Baru dan Panggung Nasional
Tahun 1967, TBR Hatapayo membuktikan bahwa ia masih memiliki peran penting dalam dunia politik dan perburuhan. Ia mendirikan Ikatan Buruh Pelabuhan Pelayaran dan Pembangunan Republik Indonesia (IBP3RI) dan di tahun yang sama diangkat sebagai anggota MPRS-RI, mewakili golongan Karya Buruh (SOBRI) dengan nomor anggota 80/C.
Setelah kabinet Ampera berakhir pada 1973, TBR Hatapayo tetap aktif di berbagai organisasi. Ia memimpin Badan Kontak Masyarakat Indonesia Maluku (BKMIM) dan mendirikan perusahaan rakyat bernama LATUNAMA pada 1974.
Puncaknya, pada tahun 1977, ia bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang dipimpin oleh Mohammad Isnaeni. Ia terus aktif dalam politik hingga akhirnya ia mencalonkan diri sebagai anggota DPR dari Provinsi Irian Jaya pada Pemilu 1982.
Namun, ajal menjemputnya sebelum ia dapat melihat hasil perjuangannya di pemilu tersebut. Tahun 1982, TBR Hatapayo menghembuskan napas terakhirnya di Jakarta.
Warisan yang Terlupakan
Kepergian TBR Hatapayo menutup babak perjuangan seorang putra Maluku yang telah mengabdikan hidupnya untuk bangsa dan negara. Namun, seperti banyak tokoh daerah lainnya, namanya perlahan tenggelam dalam arus sejarah nasional.
Dari seorang anak kecil di Tehoru yang bermimpi besar, ia mengarungi lautan sebagai pegawai pelayaran, berdiri di medan tempur sebagai tentara, memperjuangkan nasib buruh sebagai aktivis, hingga menduduki kursi parlemen. Semua itu ia lakukan dengan satu tujuan: membawa perubahan bagi rakyatnya.
Sayangnya, hingga kini, belum ada penghargaan atau pengakuan resmi atas jasa-jasanya. Nama TBR Hatapayo nyaris tidak terdengar di buku sejarah, tidak ada monumen, jalan, atau institusi yang mengabadikan warisannya.***