Ambon, Maluku– Konflik yang baru saja terjadi antara Tulehu dan Tial pada 31 Maret 2025 bukan sekadar bentrok fisik antara dua negeri, melainkan juga sebuah peringatan akan betapa mudahnya luka lama yang telah terpendam bertahun-tahun kembali terbuka. Insiden ini terjadi di Hari Raya Idul Fitri, saat seharusnya masyarakat saling merajut maaf dan kedamaian. Namun, teguran kecil di jalan sempit di Dusun Salameti, Negeri Tial, dengan cepat berubah menjadi tragedi berdarah, mengingatkan kita pada hubungan sejarah yang lebih dalam antara kedua negeri ini.
Tulehu dan Tial, bersama lima negeri lainnya—Sila, Laimu, Asilulu, Paperu, dan Hulaliu—terikat dalam sebuah ikatan persaudaraan yang dikenal dengan sebutan Silatupatih. Ikatan ini bukan sekadar hubungan antar-negeri, melainkan juga perwujudan dari Gandong atau ikatan kekeluargaan yang sangat erat, berdasarkan garis keturunan yang sama dari Upu Sei Matawaru dan Upu Hatala Oi.
Persaudaraan ini telah terjalin selama berabad-abad, namun sayangnya, ikatan ini mulai retak seiring berjalannya waktu, tergerus oleh lupa dan berbagai dinamika yang tidak terkelola dengan baik.
Tragedi 31 Maret ini adalah simbol dari keretakan tersebut. Apa yang seharusnya menjadi warisan kebersamaan, kini mulai terkoyak oleh berbagai faktor, salah satunya adalah pergeseran nilai-nilai yang semakin meluntur di kalangan generasi muda. Narasi kekerasan dan permusuhan lebih mudah diterima ketimbang kisah persaudaraan yang seharusnya menjadi penuntun hidup. Namun, salah satu faktor lain yang juga ikut memperburuk situasi adalah pengaruh minuman keras (miras) yang kerap menjadi pemicu dalam banyak perkelahian.
Miras telah menjadi ancaman yang tak hanya merusak kesehatan, tetapi juga mengaburkan rasionalitas dan menghidupkan emosi negatif dalam diri seseorang. Dalam konteks tragedi antara Tulehu dan Tial, konsumsi miras mungkin menjadi salah satu pemicu eskalasi konflik, yang pada awalnya hanyalah sebuah teguran sederhana.
Emosi yang tidak terkendali akibat pengaruh miras memperburuk ketegangan yang sudah ada, membuat komunikasi yang seharusnya bisa diselesaikan dengan kepala dingin, malah berakhir dengan kekerasan.
Lebih jauh lagi, kita harus menyadari bahwa peristiwa ini bukan hanya berkaitan dengan dua negeri atau satu insiden saja. Ini adalah cerminan dari luka-luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.
Sejak 1999, Maluku telah menyimpan trauma akibat konflik horizontal yang belum benar-benar teratasi. Luka kolektif yang ditinggalkan oleh konflik masa lalu seringkali mudah terpicu oleh peristiwa-peristiwa kecil. Polarisasi politik, ketegangan sosial, dan konsumsi miras yang tidak terkendali, semakin memperburuk kondisi ini.
Sebagai masyarakat adat yang kaya akan nilai-nilai persaudaraan, kita harus kembali mengingat dan menghargai Silatupatih sebagai warisan leluhur yang telah mengajarkan kita untuk saling menjaga, melindungi, dan menyayangi satu sama lain. Di dalam Gandong kita, tidak ada tempat untuk kebencian dan permusuhan.
Namun, untuk membangun kembali persaudaraan ini, kita harus mengatasi dua hal besar: melupakan dendam masa lalu dan mengatasi dampak miras yang merusak.
Penting bagi kita untuk menyadari bahwa konflik ini bukan hanya soal parang dan batu, tetapi juga soal bagaimana kita merawat warisan budaya kita. Miras, dengan segala dampaknya, hanya akan membawa kehancuran, baik pada individu maupun pada masyarakat. Kita harus melawan kebiasaan konsumsi miras yang tidak terkendali dan menggantinya dengan kebiasaan yang lebih sehat dan penuh makna, yang bisa mempererat hubungan antar-negeri dan generasi.
Hari Raya Idul Fitri, yang seharusnya menjadi momen refleksi dan rekonsiliasi, kini justru menjadi panggung bagi sebuah tragedi. Namun, kita masih memiliki waktu untuk memperbaiki keadaan, untuk memilih untuk tidak lagi meneruskan api dendam yang hanya akan mengaburkan kearifan lokal yang telah diajarkan oleh nenek moyang kita. Kita harus kembali menyalakan lilin perdamaian dan menyatukan kembali ikatan Silatupatih yang telah terjalin sekian lama.
Generasi muda kita, yang kini mulai terbiasa dengan narasi kekerasan, harus dibimbing untuk kembali mengingat bahwa mereka adalah penerus dari sebuah warisan persaudaraan yang luhur. Kita tidak boleh membiarkan luka lama ini terus menggerogoti masa depan kita.
Sebaliknya, kita harus membangun kembali apa yang telah rusak, menjaga ingatan kolektif, dan merawat hubungan yang telah terjalin antar-negeri, karena di dalam persaudaraan itulah kita menemukan kekuatan sejati.
Saatnya bagi kita semua untuk kembali kepada nilai-nilai yang mengikat kita: Silatupatih bukan sekadar simbol persaudaraan, tetapi juga ajakan untuk saling menjaga dan menghormati, untuk memelihara hubungan yang penuh kasih sayang dan kedamaian. Kini, kita dihadapkan pada pilihan: terus mengubur masa depan kita di kuburan masa lalu, atau memilih untuk membangun masa depan yang lebih damai, jauh dari pengaruh miras dan konflik yang tak berujung.***