Ambon, Maluku—Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) menjadi salah satu daerah di Provinsi Maluku yang memiliki potensi alam melimpah, khususnya di sektor pertanian dan pangan lokal. Salah satu komoditas unggulan yang selama ini tumbuh secara alami di wilayah ini adalah sagu. Tanaman ini telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sejak lama, namun pengelolaannya masih belum maksimal. Kini, pemerintah daerah mulai mengambil langkah konkret untuk menjadikan sagu sebagai bagian penting dari strategi pembangunan daerah.
Perihal sagu, ada mimpi besar yang sedang dirawat dan mulai dijalankan, menjadikan sagu sebagai motor penggerak pembangunan daerah. Mimpi ini bukan sekadar harapan kosong, melainkan telah dijalankan langsung oleh Bupati Fachri Husni Alkatiri dan Wakilnya Vito Wattimena.
Pertengahan Mei 2025 dalam satu momen agenda HIPMI di kabupaten bertajuk Ita Wotu Nusa itu, Bupati Fachri menegaskan bahwa sagu adalah potensi lokal yang selama ini belum sepenuhnya disadari. Padahal, dari sisi produksi, Kabupaten SBT menyumbang 97 persen dari total produksi sagu di seluruh Provinsi Maluku. Jika angka ini dijadikan patokan, SBT nyaris dapat disebut sebagai satu-satunya produsen sagu di Maluku. Produksi tahunannya bahkan mencapai rata-rata 14 ribu ton, jauh melampaui kabupaten-kabupaten lain yang hanya menghasilkan ratusan atau bahkan puluhan ton per tahun.
Komoditas ini menempati posisi pertama di SBT, melampaui produksi komoditas lain seperti cengkeh (peringkat dua), pala (peringkat dua juga secara provinsi), kelapa (peringkat empat), dan ikan (peringkat enam hingga tujuh se-Maluku). Fakta ini menunjukkan betapa strategisnya sagu bagi identitas dan masa depan ekonomi SBT.
Sagu, yang selama ini hanya dikenal sebagai makanan tradisional orang Maluku, kini menempati posisi sentral dalam agenda pembangunan daerah. Sebuah pergeseran cara pandang yang sangat penting. SBT memiliki potensi lahan sagu terbesar di Maluku, bahkan termasuk salah satu yang terbesar di Indonesia. Namun selama bertahun-tahun, potensi itu tertidur. Pohon-pohon sagu tumbuh liar di hutan-hutan tanpa pengelolaan yang terencana. Nilai ekonomi dari sagu belum benar-benar dirasakan oleh masyarakat.
Padahal, di balik batang-batang pohon yang tampak sederhana itu, tersimpan kekuatan ekonomi yang luar biasa. Bila dikelola secara modern dan terintegrasi, sagu dapat melahirkan rantai nilai baru, dari hulu ke hilir, yang mampu menggerakkan perekonomian lokal sekaligus menjawab tantangan pangan nasional.
Gagasan hilirisasi sagu yang dicanangkan oleh Pemerintah Kabupaten SBT tidak semata-mata bicara soal produksi dan pengolahan. Ini adalah visi pembangunan jangka panjang. Hilirisasi dalam konteks ini berarti mengubah sagu dari sekadar bahan mentah menjadi produk jadi yang bernilai tambah tinggi, tepung, mie, beras sagu, bahkan bioetanol, gula cair, hingga pakan ternak dan pupuk organik.
Yang menarik, pendekatan ini dilakukan dengan semangat membangun dari bawah. Pemerintah mendorong petani untuk tidak lagi membiarkan hutan sagu tumbuh liar, tetapi mulai menata ulang menjadi kebun produktif. Jumlah produksi yang besar masih bisa ditingkatkan apabila pengelolaan lahan dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan, termasuk melalui budidaya aktif dan pembukaan lahan-lahan baru.
Bupati Fachri telah menyampaikan potensi ini langsung kepada Menteri Pertanian Amran Sulaiman dalam pertemuan di Jakarta. Ia menekankan bahwa sagu dapat dijadikan pangan sehat alternatif sesuai visi Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, yang menempatkan hilirisasi sagu sebagai bagian dari program strategis nasional.
Respons pemerintah pusat pun sangat positif. Menteri Amran memerintahkan jajarannya untuk menindaklanjuti serius dan bahkan menantang daerah untuk menyiapkan business plan konkret tentang pengembangan industri sagu di SBT. Tidak hanya dari Kementerian Pertanian, dukungan juga datang dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
SBT masuk dalam 12 daerah prioritas nasional yang akan difokuskan sebagai sentra pengembangan sagu. Sebagai bentuk keseriusan, Bappenas menggandeng Masyarakat Sagu Seluruh Indonesia (MASI) yang dipimpin oleh Prof. Bintoro dari Institut Pertanian Bogor untuk membantu mendorong industrialisasi sagu secara lebih sistemik.
Prof. Bintoro bahkan diajak berdiskusi langsung bersama Wakil Menteri Bappenas untuk memetakan langkah konkret menjadikan SBT sebagai pusat industri sagu di Indonesia Timur. Ini bukan lagi wacana lokal, tapi agenda pembangunan nasional yang tengah bergerak.
Semua ini bergerak dalam kerangka besar yang saling menopang: pemerintah menyediakan kebijakan dan dukungan infrastruktur, membuka peluang investasi dan pemasaran, sementara masyarakat sebagai aktor utama terlibat langsung dalam budidaya dan produksi.
Ini bukan sekadar pembangunan ekonomi, tetapi pembangunan sosial yang berakar pada identitas dan kearifan lokal. Sagu bukan tanaman asing bagi masyarakat SBT. Ia telah menjadi bagian dari kehidupan, budaya, dan sejarah. Ketika pembangunan daerah diarahkan untuk menghidupkan kembali kekuatan lokal ini, maka sesungguhnya SBT sedang membangun jati dirinya.
Lebih dari itu, hilirisasi sagu adalah jawaban atas tantangan besar Indonesia hari ini, bagaimana membangun daerah terpencil agar tidak selalu tertinggal, bagaimana memperkuat ketahanan pangan nasional dengan sumber daya lokal, dan bagaimana menciptakan pembangunan yang berkelanjutan tanpa merusak alam.
Sagu adalah tanaman ramah lingkungan. Ia tumbuh tanpa pupuk kimia, mampu menjaga cadangan air, dan menyerap karbon. Mengembangkan sagu berarti juga menjaga hutan dan iklim, sesuatu yang sangat relevan di tengah krisis iklim global.
Langkah yang telah dan sedang dijalankan di SBT memang belum sepenuhnya terasa dampaknya. Namun arah pembangunannya sudah jelas, menjadikan sumber daya lokal sebagai pilar utama ekonomi daerah. Tidak lagi menunggu datangnya investasi besar dari luar tanpa arah, tetapi membangun kekuatan dari dalam.
Ketika sagu menjadi pusat pembangunan, maka semua elemen bergerak: infrastruktur, pertanian, industri, pendidikan, lingkungan, hingga identitas kebudayaan. SBT tidak sedang meniru model pembangunan dari barat atau dari kota besar, tapi sedang menciptakan modelnya sendiri—model pembangunan berbasis pangan lokal, yang berakar, membumi, dan berkelanjutan.
Dan jika langkah ini terus dijaga konsistensinya, bukan tidak mungkin dalam waktu dekat, Kabupaten Seram Bagian Timur akan benar-benar menjadi pusat sagu Indonesia Timur. Bukan hanya sebagai simbol, tetapi sebagai bukti bahwa pembangunan sejati dimulai dari mengenal, mengelola, dan mencintai kekayaan sendiri. ***