Ambon, Maluku– Kita pun tahu ada pelbagai kisah cinta, dan seringkali menemui kata tragedy, seperti secawan racun dalam kisah yang dituliskan Shakespeare, tetapi tidak sedikit yang berakhir Happy Ending. Layaknya dalam dongeng anak-anak Cinderella. apa pun itu cinta memang selalu bisa memainkan pesonanya kedalam dua paras, entah itu comedy ataupun tragedy.
Mungkin hal ini memang rumit untuk diandaikan, tapi konsep pacaran adalah contoh sederhana yang dalam pengandaian Jurgen Habermas, menyebutnya sebagai sederhananya suatu keadaan, hubungan timbal balik antara kedua bela pihak.
Bagi kalangan pemuda dan pemudi secara umum “pacaran” akan terbentuk bilamana adanya persetujuan kedua pihak atau mau sama mau. sehingga bisa dibayangkan betapa rumit dan alotnya negosiasi dan tawar menawar yang harus dilakukan untuk mencapai kesepakatan, karena di sana selalu ada harapan dan kepastian yang tidak utuh. pihak pertama harus menawarkan harapan yang cocok dengan kepastian pihak kedua, begitupun sebaliknya. membuat transaksi dan negosiasi “mencari pacar” sama sulitnya seperti mencari “pemimpin daerah”.
Pemuda Hopeless dan Social Anxiety
Pada periode 2020-2030, Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksi akan terjadi peningkatan bonus demografi atau penduduk usia produktif. fenomena peningkatan ini akan menjadi keuntungan bagi kita dan konon katanya fenomena ini menjadi stimulus menuju Indonesia emas 2045. But unfortunately bak sebuah pedang bonus demografi memiliki irisan lain yang dapat berbalik menjadi ancaman bagi kita.
Mengingat laporan lainnya dari data badan statistic terkait penduduk usia muda tanpa kegiatan atau Youth not in education empployment (NEET). Meletakan provinsi maluku secara nasional sebagai provinsi terbesar kedua dalam menyumbang anak muda tanpa kegiatan, yakni 28,64% dari total penduduk usia anak mudah, dan laporan ini muncul disaat kita tengah berada dalam fase bonus demografi, yang memungkinkan jumlah anak muda sangat dominan bahkan menjadi penentu arah jarum jam sejarah.
Banyaknya terjerumus anak muda ke dalam kubangan NEET menjadi pertanda bahwa saat ini kita sedang menghadapi potensi , dan tanda-tanda itu dapat dibaca berdasarkan situasi yang mengisyaratkan adanya ketiadaan harapan dan kecemasan.
Nah, barangkali ketiadaan harapan bukan hanya soal kepergian seorang kekasih, sebagai satu keadaan yang suram dan lebam, melainkan juga rentetan masalah seperti praktek politik menyimpang dan birokrasi korup, ekonomi, pendidikan kesehatan dan pekerjaan, hingga tuntutan menikah, yang menjadi kecemasan sosial ( dalam dosis tertentu.
Berdasarkan temuan I-NAMHS menyebutkan bahwa gangguan kecemasan merupakan gangguan mental yang paling banyak dialami para remaja dan pemuda, sekitar 26,57 persen dengan prevalensi 1 dari 20 remaja atau pemuda memiliki gangguan mental dalam kurun waktu 12 bulan terakhir. Sementara Survei global tahun 2021 dari total 10.000 responden usia pemuda menunjukkan hasil yang senada (Elizabeth Marks, et al, 2021). 59 persen responden merasa sangat cemas , 84 persen cemas sedang, dan lebih dari 50 persen mengaku merasa sedih, cemas, geram, marah, tak berdaya, tidak punya kuasa sama sekali, hingga perasaan bersalah.
Kesulitan Mencari Pemimpin
Alhasil dampak dari kecemasan ini menjadikan generasi muda sebagai pengguna internet aktif, mereka dapat berselancar di internet hingga lebih dari 8 jam perhari. Berdasarkan data (UMN, 2023; IDN Times, 2022). lugasnya data ini juga mengkonfirmasi mengapa kelompok usia ini lebih banyak menggunakan internet untuk hiburan. karena internet merupakan salah satu jalan lain, mengurai stres akibat beban hidup sehari-hari, yang mudah diakses dengan biaya murah.
Gayung pun bersambut mengakibatkan lahirkan kemalasan kognitif dalam memahami peristiwa politik. Riset-riset psikologi menunjukkan bahwa pengolahan informasi politik secara sistematis adalah hal yang tak mudah. diperlukan kemampuan yang mumpuni untuk memahaminya dengan baik (kritis).
Sehingga keadaan ini menjadikan pemuda lebih tertarik memilih calon pemimpin dengan model emoji, ketimbang narasi, pada gilirannya suara pemuda hanya akan dimanfaatkan untuk mendapatkan kekuasaan, selanjutnya ditinggalkan, dengan kata lain di-ghosting.
Sebenarnya kesulitan pemuda mencari pemimpin tidak hanya karena masalah diatas, melainkan juga karena maraknya praktik kekuasaan yang menyimpang, seperti korupsi, oligarki, dan politik dinasti, menjadikan para pemuda ragu, sukar atau bahkan tidak percaya terhadap calon pemimpin, untuk menjawab isu-isu krusial yang menjadi perhatian pemuda.
hal ini dapat tercermin berdasarkan data kompas, bahwa sekitar 21,7 responden upaya meneruskan cita-cita kemerdekaan seperti kesejahteraan hanya sebatas pencitraan para calon pemimpin, ditambah 6,4 responden justru menilai pemimpin saat ini enggan memperjuangkan cita-cita kemerdekaan seperti kesejahteraan.
Sementara berdasarkan Survei (CSIS) setidaknya ada tiga isu teratas yang menjadi perhatian anak muda dalam Pemilu 2024 adalah isu kesejahteraan masyarakat (44,4 persen). Menyusul isu kedua adalah lapangan pekerjaan (21,3 persen). kebebasan berpendapat dan Pemberantasan korupsi (15,9 persen) juga menjadi perhatian selanjutnya. Isu kesejahteraan yang merupak top of hierarchy inilah, yang menjadikan sulitnya mendapatkan pacar bahkan tidak sedikit dari kaum muda menunda proses evolusi dari lajang-menikah (waithood).
Sulit bagi saya untuk membayangkan situasi apa yang kita hadapi. situasi pemuda yang cemas, praktek pemimpin dan politisi yang menyimpang. Mungkin itu sebabnya dengan penuh ragu dan berkerut, sebelum akhirnya tersenyum. William Shakespeare pernah menuliskan “love looks not with the eyes, but with the mind” dengan maksud untuk mengajak kita memilih pemimpin dengan menggunakan pikiran. Sayangnya, dengan pikiran, cinta “acap kali akan menemui jalan buntu bahkan gila.”***
Penulis: Abe Yanlua | Peniliti Maluku Data Network dan Pengurus KNPI Maluku