Ambon, Maluku– Awal tahun 2025, yang bertepatan dengan bulan Rajab, seharusnya menjadi momen refleksi dan harapan baru bagi masyarakat Maluku. Namun, insiden tenggelamnya speedboat Dua Nona di perairan Tanjung Samala, Pulau Manipa, membawa duka mendalam.
Kecelakaan yang merenggut delapan nyawa, termasuk tiga anak-anak, mengingatkan kita akan rapuhnya sistem transportasi laut yang menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat di daerah kepulauan ini.
Tragedi ini bukan sekadar statistik, tetapi cerita kehilangan bagi delapan keluarga yang kini harus menghadapi awal tahun dengan luka yang tak terbayangkan.
Kehilangan anak-anak, yang merupakan simbol masa depan, menambah beban emosional bagi masyarakat yang telah terbiasa hidup berdampingan dengan risiko laut. Mereka yang kehilangan orang tercinta mungkin tidak akan pernah memandang laut dengan cara yang sama lagi.
Di balik peristiwa ini, ada tanggung jawab yang tak bisa diabaikan. Bagaimana mungkin, di wilayah yang sangat bergantung pada transportasi laut, keselamatan menjadi sesuatu yang seolah dikesampingkan? Fakta bahwa kapal tersebut miring sebelum tenggelam, meskipun gelombang laut dilaporkan normal, memperlihatkan adanya kelalaian serius, baik dalam hal teknis maupun pengawasan.
Keberadaan perlengkapan keselamatan seperti pelampung seharusnya menjadi standar minimal, namun insiden ini menunjukkan bahwa standar itu mungkin tidak diterapkan atau bahkan diabaikan.
Kejadian ini juga menyoroti hubungan manusia dengan laut di Maluku, yang selama ini dianggap sebagai sumber kehidupan. Ironisnya, laut yang memberi kehidupan ini juga sering kali menjadi ancaman karena minimnya perhatian terhadap keselamatan. Dalam konteks ini, pemerintah memiliki peran penting untuk memastikan bahwa setiap perjalanan laut tidak menjadi perjalanan terakhir bagi penumpangnya.
Pengawasan terhadap transportasi laut bukan hanya soal menegakkan aturan, tetapi juga soal melindungi nyawa manusia. Setiap penumpang yang menaiki kapal mempercayakan hidup mereka pada nakhoda, kapal, dan regulasi yang seharusnya menjamin keamanan mereka.
Ketika kepercayaan itu dikhianati, bukan hanya keluarga korban yang dirugikan, tetapi juga rasa aman seluruh masyarakat Maluku.
Kita harus mulai memandang keselamatan transportasi laut bukan sebagai kebutuhan teknis semata, tetapi sebagai bentuk penghormatan terhadap hak asasi manusia. Setiap nyawa yang hilang akibat kelalaian adalah kehilangan besar yang tak terbayarkan, terutama bagi keluarga yang ditinggalkan.
Pemerintah perlu mengambil langkah serius untuk memastikan tidak ada lagi orang tua yang harus kehilangan anaknya, atau anak-anak yang kehilangan orang tuanya, hanya karena sistem transportasi laut yang lemah.
Dengan semangat awal tahun dan nilai-nilai yang terkandung dalam bulan Rajab, ini saatnya bagi semua pihak untuk bertindak. Maluku adalah surga laut, tetapi surga ini harus dijaga agar tetap menjadi tempat kehidupan, bukan arena tragedi. Keselamatan di laut adalah hak dasar yang harus dijamin, tanpa kecuali. Mari bersama-sama menjadikan duka ini sebagai awal perubahan menuju masa depan yang lebih aman dan manusiawi.***