- Dominasi “sagu” dalam Sagu Tumbu adalah seruan bagi pemerintah dan masyarakat untuk mengalihkan fokus kepada produksi lokal sebagai landasan pembangunan yang berkelanjutan.
Oleh: Muhammad Fahrul Kaisuku, Wakil Ketua Bidang Pengelolaan Opini dan Media Sosial DPD KNPI Maluku.
Ambon, Maluku– Judul ini mengarahkan pada perbincangan tentang Sagu Tumbu sebagai objek yang tidak hanya berbicara tentang makanan, tetapi juga mengenai kritik sosial yang lebih dalam yang merangkul aspek emosional dalam ruang publik.
Dengan mengaitkan “Sagu Tumbu” — jajanan tradisional khas Maluku — dengan konsep “emotional criticism” atau kritik emosional, kita dapat mengeksplorasi bagaimana makanan ini berfungsi sebagai medium untuk menyampaikan pesan tentang ketergantungan ekonomi, pelestarian tradisi, dan penggunaan sumber daya alam yang berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat.
Sagu Tumbu sebagai Representasi Kearifan Lokal dan Identitas Budaya
Sagu Tumbu adalah jajanan tradisional yang dominan menggunakan sagu sebagai bahan utamanya, disertai dengan gula merah, gula pasir, dan kenari.
Dominasi sagu dalam nama “Sagu Tumbu” mengandung pesan kuat tentang pentingnya mempertahankan kearifan lokal. Makanan ini bukan hanya tentang rasa, tetapi juga tentang identitas dan sejarah budaya yang dibawa oleh masyarakat Seram Bagian Barat.
Sagu Tumbu mencerminkan bagaimana masyarakat di daerah tersebut masih sangat menghargai dan mempertahankan tradisi kuliner mereka di tengah arus globalisasi yang sering kali menelan identitas lokal.
DALAM konteks “dialektika”, Sagu Tumbu berbicara tentang pertemuan antara tradisi dan modernitas. Ini adalah dialog antara yang lama dan yang baru, antara kearifan lokal dan dampak perubahan sosial-ekonomi yang semakin kencang. Dalam hal ini, “Sagu Tumbu” menjadi simbol dari perlawanan terhadap homogenisasi budaya dan dampak globalisasi yang kerap kali meminggirkan identitas lokal. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pembangunan yang berkelanjutan, budaya tradisional seperti Sagu Tumbu tetap relevan dan harus dihargai.
“Emotional Criticism” dalam Ruang Publik
“Emotional Criticism” adalah bentuk kritik yang lebih fokus pada aspek-aspek emosional dan identitas personal yang terkait dengan budaya dan sosial-ekonomi. Dalam kasus Sagu Tumbu, kritik emosional ini dapat dilihat dalam bagaimana makanan tradisional ini digunakan sebagai sarana untuk menyuarakan ketidakpuasan terhadap kebijakan ekonomi yang cenderung mendahulukan produk luar dan mengabaikan bahan-bahan lokal seperti sagu.
DALAM ruang publik, Sagu Tumbu tidak hanya dinikmati sebagai makanan, tetapi juga menjadi medium bagi masyarakat Seram Bagian Barat untuk mengekspresikan perasaan terkait dengan ketergantungan ekonomi dan pengabaian terhadap tradisi. Kritikan emosional ini menyoroti bagaimana masyarakat merasa terpinggirkan ketika identitas mereka, yang dibangun melalui tradisi kuliner seperti Sagu Tumbu, diabaikan dalam pembangunan ekonomi. Dalam “dialektika”, pertemuan antara kebutuhan modern dan perasaan tradisional ini menjadi ruang untuk menciptakan perubahan sosial yang lebih inklusif.
Korelasi antara Sagu Tumbu dan Pembangunan Berkelanjutan
Sagu Tumbu, dengan dominasi “sagu”, menghadirkan kritik terhadap pembangunan yang tidak berkelanjutan, terutama terkait dengan penggunaan sumber daya alam dan dampaknya terhadap lingkungan.
Pembangunan yang tidak memperhatikan prinsip keberlanjutan sering kali merusak ekosistem lokal dan mengabaikan ketahanan pangan lokal. Dalam “dialektika” ini, Sagu Tumbu mengingatkan kita bahwa pembangunan harus sejalan dengan konservasi lingkungan dan pelestarian tradisi. Ini adalah seruan bagi pemerintah dan masyarakat untuk mempertimbangkan kembali bagaimana cara pembangunan ekonomi dapat menciptakan kesejahteraan tanpa merusak lingkungan atau mengabaikan warisan budaya.
Dalam konteks “emotional criticism”, Sagu Tumbu adalah suara dari masyarakat yang merasakan dampak dari pembangunan yang hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi tanpa memikirkan dampaknya terhadap kearifan lokal dan lingkungan. Ia mengajak kita untuk mengevaluasi kembali pendekatan pembangunan yang ada, mendorong integrasi antara ekonomi, budaya, dan lingkungan agar lebih seimbang dan berkelanjutan.
Dengan mengadopsi judul “Dialektika Sagu Tumbu dan ‘Emotional Criticism’ di Ruang Publik”, kita bisa melihat Sagu Tumbu sebagai lebih dari sekadar makanan. Ia menjadi representasi dari dialog sosial yang lebih luas, mempertemukan identitas budaya, ketergantungan ekonomi, dan keberlanjutan lingkungan.
Sagu Tumbu tidak hanya menyuguhkan rasa, tetapi juga menjadi medium kritik emosional yang penting dalam upaya membangun pembangunan yang lebih adil dan berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat. ***