Ambon, Jakarta – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) kembali menyuarakan penolakan peringatan Hari Pers Nasional (HPN) yang diperingati setiap 9 Februari. AJI menilai selama HPN berlangsung justru tidak inklusif karena sekadar perayaan hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) alias tidak mencerminkan kepentingan organisasi pers secara keseluruhan.
Ketua Umum AJI Indonesia Nany Afrida mengatakan, peringatan hari pers harusnya tak sekadar selebrasi atau seremoni. Selain merangkul semua pegiat pers, Nany mengatakan, hari tersebut harusnya bisa mendorong pembicaraan soal kesejahteraan, ancaman kekerasan, dan kerentanan pekerja media.
Karena itu, AJI mengusulkan ada perubahan HPN menjadi Hari Kemerdekaan Pers Nasional yang ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pada 23 September 1999.
“Sikap AJI jelas dari dulu menolak HPN yang nggak inklusi karena dianggap organisasi yang lain kesannya di luar itu. Perayaannya masih cenderung seremonial,” kata dia dalam diskusi diskusi publik “Hari Pers Nasional: Kepentingan dan Sejarah yang Dipertanyakan” di Kantor AJI Jakarta, pada Senin, 10 Februari 2025.
Nany mengatakan, Hari Kemerdekaan Pers Nasional itu akan lebih inklusif karena tak akan ada yang mengklaim hari raya pers hanya bagian dari satu organisasi, tapi seluruh pegiat pers di tanah air. Selain itu, Hari Kemerdekaan Pers Nasional ini juga akan menjadi ejawantah dari nilai kebebasan dan kemerdekaan yang terkandung dalam UU Pers.
Pada tahun ini, PWI pun menggelar Hari Pers Nasional di dua lokasi. Fenomena ini merupakan buntut dari dualisme kepengurusan di organisasi wartawan tersebut. PWI pimpinan Hendry Ch Bangun menggelar Hari Pers Nasional di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Sedangkan PWI versi Ketua Umum Zulmansyah Sekedang melaksanakan Hari Pers Nasional di Pekanbaru, Riau.
Hingga 2025, Dewan Pers setidaknya memiliki 11 konstituen yang terdiri dari organisasi jurnalis dan perusahaan pers. Konstituen ini meliputi Asosiasi jurnalis Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Serikat Perusahaan Pers (SPS), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI).
Kemudian Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI), Pewarta Foto Indonesia (PFI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), dan Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI).
Presiden Soeharto menetapkan Hari Pers Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985 karena di era Orde Lama tak ada hari khusus untuk memperingati kebangkitan pers Indonesia.
Penetapan ini bertepatan dengan hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 9 Februari 1946. Sebenarnya, Keputusan Presiden tersebut tidak mengatur spesifik tentang pengelola atau penanggung jawab Hari Pers Nasional. Namun, pada era itu pemerintah hanya mengakui PWI sebagai organisasi tunggal para pegiat pers.
Karena itu, AJI menilai setelah keluar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang membuka keran pertumbuhan organisasi dan media di Indonesia harusnya peringatan Hari Pers Nasional perlu ditinjau ulang.
Pada 10 Februari 2018, AJI dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) pernah mendesak Dewan Pers untuk merevisi tanggal Hari Pers Nasional. Peringatan HPN pada 9 Februari dinilai sebagai salah satu tradisi peninggalan Orde Baru di bidang pers.
Pada pokoknya, AJI dan IJTI juga meminta Presiden Jokowi mencabut SK Presiden Nomor 5 tahun 1985 yang menjadi dasar hukum penetapan 9 Februari sebagai HPN. Menurut AJI dan IJTI, ada sejumlah masalah mendasar dalam pelaksanaannya, yaitu dasar hukum dari Keppres yang sudah tidak berlaku lagi.
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengakui bahwa, Hari Pers Nasional harusnya menjadi bentuk eksistensi yang lebih inklusif mencakup seluruh insan pers, termasuk jurnalis, konstituen Dewan Pers, ataupun komunitas pers di luar institusinya.
Ia menekankan bahwa kebebasan pers seharusnya meliputi kebebasan untuk menentukan peringatan hari pers, tanpa harus bergantung pada keputusan pemerintah.
“Substansi dari perayaan pers adalah bagaimana menguatkan pers dari hari ini untuk ke depan,” ujar Ninik.
Dewan Pers pun sepakat untuk membuka peluang perubahan dalam penetapan perayaan Hari Pers agar lebih inklusif dan mencerminkan semangat kebebasan pers secara menyeluruh. Ketua Komisi Penelitian, Pendataan dan Ratifikasi Pers Dewan Pers Atmaji Sapto Anggoro mengatakan institusinya juga mendorong peringatan hari pers yang lebih substansial.
“Kami dewan pers sangat terbuka untuk bisa dijadikan sebagai sebuah hari yang monumental untuk memperingati pers yang lebih substansial dan bisa diletakkan ruhnya terhadap seluruh masyarakat pers,” kata dia.
Menurut Sapto, perayaan HPN selama ini lebih menonjolkan kepentingan PWI dibandingkan membahas isu-isu krusial, seperti kesejahteraan dan kebebasan pers. Fenomena ini, kata dia, bisa mereduksi kapasitas dan kualitas Hari Pers Nasional.
“Sorry to say, dalam beberapa kesempatan, kepengurusan PWI saat ini justru lebih menekankan bahwa HPN adalah hari lahir organisasi mereka, alih-alih menjadikannya sebagai perayaan milik bersama,” kata Sapto. (**)