Ambon, Maluku– Tunas Indonesia Raya (TIDAR) menyoroti tajam kinerja Badan Intelijen Negara (BIN) dan mendesak lembaga strategis tersebut untuk bekerja lebih profesional, terutama dalam menjalankan fungsi deteksi dini dan pencegahan terhadap potensi konflik sosial.
Pernyataan ini disampaikan Ketua TIDAR Kabupaten Seram Bagian Barat, Taufik Rahman Saleh, menyusul rentetan kejadian berdarah yang mengguncang beberapa daerah di Maluku, di awal masa kepemimpinan Hendrik Lewerissa dan Abdullah Vanath.
Menurut Taufik, kejadian kekerasan yang berulang di Maluku bukan hanya soal keamanan semata, melainkan menyentuh aspek yang jauh lebih luas — mulai dari kelumpuhan roda pemerintahan di daerah, menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi negara, hingga mandeknya pembangunan ekonomi.
“Konflik sosial yang tidak terdeteksi sejak dini oleh lembaga intelijen berdampak langsung pada kestabilan pemerintahan daerah. Bagaimana roda birokrasi bisa berjalan jika masyarakat hidup dalam ketakutan, dan pejabat publik sendiri tidak memiliki jaminan keamanan?” ungkap Taufik, Rabu (09/04).
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa konflik yang tidak tertangani dengan baik akan menciptakan iklim investasi yang buruk dan memperparah ketimpangan ekonomi di wilayah rawan.
“Investor akan berpikir seribu kali sebelum menanamkan modal di daerah yang tidak stabil. Ini tentu saja menghambat pertumbuhan ekonomi dan menyengsarakan rakyat dalam jangka panjang,” tambahnya.
TIDAR juga menilai lemahnya deteksi dini oleh BIN menunjukkan belum maksimalnya integrasi antara pusat dan daerah dalam hal penyampaian informasi strategis.
Taufik meminta agar BIN segera membangun sistem yang lebih responsif dan terhubung langsung dengan dinamika lokal.
“Kami mendorong BIN tidak hanya sekadar mengandalkan laporan formal, tapi benar-benar turun ke bawah, memahami sosiologi masyarakat, dan mengaktifkan kembali jejaring intelijen lokal yang berbasis pada pendekatan kemanusiaan dan kultural,” jelas Taufik.
Dirinya menegaskan, keamanan bukan semata tanggung jawab TNI dan Polri, tetapi juga kerja sistemik lembaga intelijen sebagai mata dan telinga negara.
“Tanpa kemampuan prediktif yang kuat dari BIN, maka setiap konflik akan selalu datang sebagai kejutan — dan negara dan daerah Maluku ini akan selalu menjadi pihak yang tertinggal,” pungkasnya.
Senada juga datang dari wadah Volountir Sosial dan penggiat literasi, Rumah Inspirasi dan Literasi (RIL), melalui Direktur-nya, Muhammad Fahrul Kaisuku.
Dalam keterangannya, Kaisuku menilai bahwa fungsi Badan Intelijen Negara (BIN) selama ini kerap tidak berjalan sebagaimana mestinya, khususnya dalam konteks wilayah Maluku yang sarat dinamika sosial dan potensi konflik komunal.
“BIN itu bukan sekadar lembaga pemantau, tapi memiliki tugas strategis sebagai alat negara dalam mendeteksi, menganalisis, dan mengantisipasi segala bentuk ancaman terhadap keamanan nasional. Fungsi ini mestinya dijalankan lebih adaptif dan presisi, terutama di daerah-daerah rawan seperti Maluku,” ujar Kaisuku.
Ia menjelaskan bahwa tugas BIN meliputi pengumpulan dan pengolahan informasi strategis yang berkaitan dengan ancaman keamanan, baik dari dalam maupun luar negeri. Namun, di Maluku, menurutnya, fungsi ini terkesan pasif dan hanya reaktif ketika konflik sudah meletus.
“Seharusnya ada konversi pendekatan yang lebih kontekstual di Maluku, mengingat karakteristik konflik di sini sangat dipengaruhi oleh aspek kultural, sejarah, dan relasi sosial antar komunitas. BIN harus hadir dengan pendekatan yang tidak sekadar formal dan militeristik, tapi juga berbasis lokalitas,” tambahnya.
Kaisuku menekankan bahwa kegagalan BIN membaca dinamika sosial di Maluku adalah kegagalan negara dalam memahami warganya sendiri.
Ia juga mendesak agar lembaga tersebut mereformulasi strategi operasional mereka di daerah dengan melibatkan elemen sipil dan tokoh masyarakat sebagai mitra intelijen dalam membangun sistem deteksi dini yang berbasis kepercayaan.
“Kalau BIN terus bekerja seperti selama ini — diam saat krisis mulai mengemuka dan baru muncul setelah konflik meluas — maka Maluku tidak akan pernah benar-benar aman. Dan yang dirugikan adalah rakyat,” tutupnya.***