GUANGZHOU,- Di tengah ketegangan geopolitik dan perang dagang yang memanas antara Amerika Serikat dan China, Canton Fair 2025 hadir sebagai simbol ketangguhan dan adaptasi industri China dalam lanskap perdagangan global yang terus berubah.
Sebagai ajang pameran terbesar di dunia, Canton Fair tidak hanya menjadi panggung untuk memamerkan inovasi teknologi dan industri, tetapi juga cermin dari dinamika perang dagang yang telah mengubah pola hubungan ekonomi internasional.
Pameran ini diadakan dua kali setahun, pada musim semi di akhir April dan awal Mei, serta musim gugur di akhir Oktober dan awal November. Setiap sesi pameran, dibagi lagi menjadi tiga fase. Jadi, dalam satu tahun, terdapat enam fase Canton Fair. Setiap fase sesi pameran biasanya menampilkan produk dan pedagang yang berbeda, karena produk yang diminati setiap orang berbeda-beda.
Pada fase 1 tanggal 15-19 April 2025, produk pameran berfokus pada sektor elektronik, mesin berat, robotik, dan energi terbarukan, menawarkan kisah tentang bagaimana produsen dan konsumen global merespons tekanan tarif impor AS terhadap China, tanpa terpengaruh fragmentasi rantai pasok.
Riuh ratusan ribu pengunjung dari berbagai belahan dunia seakan melupakan adanya ketegangan geopolitik dan ekonomi AS-China, ikut menyemai kompleks China Import and Export Fair, tempat penyelenggaraan Canton Fair dilaksanakan di Guangzhou.
Di kawasan pameran seluas 1,55 juta meter persegi dan terluas di dunia itu, ribuan stan memajang teknologi terbaru dari industri yang mereka miliki. Udara terasa berdesakan, bukan hanya oleh ratusan ribu pengunjung, tetapi juga oleh ambisi negara ini untuk memimpin revolusi industri dunia.
Canton Fair di sesi musim semi kali ini di ikuti sekitar 31.000 perusahaan, bertambah hampir 900 perusahaan dibandingkan pameran sebelumnya. Lebih dari 246.000 pembeli asing dari 215 negara dan kawasan datang ke pameran produk terbesar di dunia ini.
Ini bukan sekadar pameran produk. Ini pertunjukan besar tentang masa depan. Ia lahir dari kepahitan sejarah, dan menjadi simbol kebangkitan sebuah negara dengan populasi terbesar di dunia. Di awali dengan embargo barat, jejak sejarahnya membentuk wajah perdagangan China di pentas global saat ini.
Pada 1957, China yang baru saja melalui Revolusi Komunis, menjadi terkucil secara politik dan ekonomi. Blokade Barat memaksa negeri ini berjuang mencari cara mandiri untuk memperoleh pendapatan bagi negaranya.
Di tengah suasana Perang Dingin, “Chinese Export Commodities Fair” pertama digelar di Guangzhou, satu-satunya kota pelabuhan yang masih terbuka untuk asing, dan terbesar ketiga setelah Shanghai dan Beijing. Saat itu, China masih miskin dan terisolasi.
Stan-stan sederhana di bangunan tua Jalan Liuhua kala itu hanya memajang produk pertanian dan bahan mentah: teh, sutra, bijih besi. Namun, pameran ini menjadi “lifeline” bagi ekonomi China. Dia hadir menjadi napas pertama negara ini di pasar global, setelah puluhan tahun terisolasi.
Perubahan drastis terjadi pasca reformasi ekonomi 1978. Pada 2007, nama resminya diubah menjadi “China Import and Export Fair”, menegaskan peran ganda: tak hanya ekspor, tapi juga pintu masuk produk global ke pasar China.
Kini, dengan 25.000 eksportir China dari berbagai industri dan lebih dari 200.000 pembeli asing setiap tahunnya, Canton Fair berubah menjadi episentrum perdagangan yang menggerakkan 2 persen dari total ekspor global. Data dari China Import and Export Fair mencatat, total nilai transaksi di Canton Fair pada tahun lalu misalnya, mencapai USD27,730 miliar, atau Rp465,8 triliun (kurs 16.800).
Pada Canton Fair 2025, hampir seluruh produk yang dipamerkan adalah hasil R&D dalam negeri. Ini seperti mimpi Mao Zedong yang menjadi nyata, tapi dengan cara yang tak pernah ia bayangkan.
Canton Fair 2025 menjadi bukti dinamisme perdagangan China di tengah perang dagang dengan AS pasca “kebijakan gila” Donald Trump menaikan tarif impor. Perang dagang telah memaksa dunia beradaptasi pada realitas baru: globalisasi tidak mati, tapi berubah wajah.
Rantai pasok kini lebih terfragmentasi, diplomasi ekonomi lebih multipolar, membuktikan inovasi tetap lahir meski di tengah tekanan. Bagi China, pameran ini adalah deklarasi bahwa mereka tetap menjadi raksasa manufaktur, meski harus mencari jalur alternatif.
Dari Guangzhou, kita dapat belajar bahwa sebuah pameran yang berangkat dari kepahitan sejarah, hadir tidak sekadar mengejar angka-angka dan statistik perdagangan.
Ia adalah panggung tempat masa depan di desain, dan Indonesia dengan segala potensi dan kelemahannya, saya kira perlu belajar untuk bisa mengejar segala ketertinggalannya.
Canton Fair 2025 mengajarkan bahwa dalam konflik sekalipun, manusia selalu menemukan cara untuk berdagang, berkolaborasi, dan bertahan.
Perang dagang AS-China mungkin telah membelah peta ekonomi global, tetapi dari Guangzhou, semangat perdagangan lintas negara dan keinginan untuk saling terhubung tetap hidup, meski harus melalui jalan bertahan atau memutar.***