Ambon, Maluku – Pemerintah Provinsi Maluku menerbitkan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) kepada 10 koperasi yang beroperasi di wilayah Gunung Botak, Kabupaten Buru. Namun, langkah ini menuai protes dari keluarga Nurlatu, salah satu pemilik hak ulayat di wilayah tersebut.
Ketua Koperasi Waetemun Mandiri, Jafar Nurlatu, menyatakan bahwa proses penerbitan izin tersebut tidak transparan dan tidak sesuai prosedur.
Ia menilai mayoritas koperasi yang mendapat IPR tidak menjalankan tahapan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 174.K/MB.01/MEM.B/2024 tentang Pedoman Penyelenggaraan Izin Pertambangan Rakyat.
“Sebagian besar koperasi itu belum memenuhi persyaratan administratif, terutama terkait Peraturan Teknik (Pertek) yang mengatur metode pengembangan, perlengkapan operasional, jadwal kerja, dan kebutuhan tenaga kerja,” ujar Jafar saat diwawancarai, Kamis (8/5/2025).
Ia menegaskan bahwa seluruh tahapan teknis tersebut seharusnya disosialisasikan kepada masyarakat sebelum pemerintah menerbitkan IPR. Namun hingga kini, kata dia, 10 koperasi tersebut belum pernah melakukan sosialisasi di sekitar wilayah tambang.
“Proses uji publik tidak pernah berlangsung. Sosialisasi adalah syarat mutlak sebelum izin keluar, tapi ini justru diabaikan,” tegasnya.
Selain menyoroti prosedur administratif, Jafar menekankan pentingnya menghormati hak ulayat masyarakat adat.
Ia menilai penerbitan izin tambang ini mengabaikan eksistensi dan hak-hak masyarakat adat Nurlatu yang telah mendiami wilayah tersebut secara turun-temurun.
“Kami tidak menolak negara atau pemerintah. Tapi kami akan mempertahankan hak ulayat yang dijamin oleh undang-undang. Jangan korbankan masyarakat adat demi kepentingan investasi,” ujarnya.
Menurutnya, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mengayomi masyarakat, bukan justru mengabaikan keberadaan pemilik tanah ulayat.
Ia mengajak seluruh pihak di Maluku menjaga dan menghormati hak-hak adat yang sah secara hukum dan sejarah.
Jafar mengusulkan agar Pemerintah Provinsi Maluku mengevaluasi seluruh izin yang telah dikeluarkan. Ia mendorong dilakukan pengundian ulang atau penataan ulang terhadap koperasi penerima IPR maupun yang belum mengantongi izin, demi menciptakan keadilan dan kesetaraan.
“Perlu dikocok ulang. Semua koperasi sebaiknya ditempatkan dalam posisi yang adil dan setara,” kata Jafar.
Ia juga meragukan pemahaman koperasi penerima izin terkait peta blok wilayah kerja mereka. Menurutnya, hingga kini belum ada pelepasan lahan dari pemilik hak ulayat, sehingga penetapan blok pertambangan pun masih belum jelas.
“Bagaimana mereka bisa tahu letak bloknya kalau pelepasan lahan saja belum terjadi? Pemerintah belum berkoordinasi untuk memastikan pembagian blok secara resmi,” tandasnya.
Sebagai penutup, Jafar meminta Gubernur Maluku bersama Kepala Dinas ESDM dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup segera mengevaluasi ulang dokumen perizinan dan menggelar pertemuan bersama seluruh pemangku kepentingan. Ia berharap ada kesepakatan bersama demi kelangsungan investasi yang adil dan berkelanjutan di wilayah Gunung Botak.***