Maluku– Ketegangan geopolitik di Asia Selatan kembali meningkat setelah serangan bersenjata di wilayah Kashmir yang menewaskan 26 wisatawan asal India. India langsung menuding kelompok militan yang berbasis di Pakistan sebagai pelaku serangan tersebut, sementara Pakistan membantah tuduhan ini. Konflik ini berkembang menjadi serangan balasan militer di perbatasan, menambah jumlah korban jiwa dari kedua belah pihak.
Ketegangan ini mengancam stabilitas kawasan, mengingat baik India maupun Pakistan adalah negara dengan senjata nuklir yang memiliki sejarah hubungan yang sangat tegang sejak merdeka pada tahun 1947.
Bagi Indonesia, konflik ini bukan hanya berimbas pada kawasan Asia Selatan, tetapi juga berdampak signifikan pada perekonomian domestik, terutama di sektor perdagangan, energi, pariwisata, dan stabilitas keuangan.
Potensi kerugian Indonesia akibat ketegangan ini diperkirakan bisa mencapai Rp 26 triliun. Namun, di balik ancaman tersebut, terdapat peluang diplomatik bagi Indonesia untuk memainkan peran sebagai mediator dan honest broker (penengah yang jujur), sebagaimana telah dilakukan dalam sejarah diplomasi Asia-Afrika.
Kerugian Potensial di Sektor Pariwisata
Sektor pertama yang langsung merasakan dampak ketegangan ini adalah pariwisata. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada 2024, jumlah wisatawan asal India yang berkunjung ke Indonesia mencapai 710.688 orang, sementara wisatawan dari Pakistan berjumlah 23.150 orang.
India merupakan pasar utama pariwisata Indonesia, dengan destinasi populer seperti Bali, Jakarta, dan Batam yang banyak dikunjungi wisatawan dari kedua negara tersebut.
Jika ketegangan ini berlanjut dan kunjungan wisatawan dari India dan Pakistan menurun sebesar 50%, Indonesia berpotensi kehilangan devisa sekitar USD 533 juta dari wisatawan India dan sekitar Rp 215 miliar dari wisatawan Pakistan. Ancaman ini sangat serius bagi daerah-daerah yang perekonomiannya mulai pulih setelah pandemi COVID-19 dan berharap pada lonjakan wisatawan mancanegara. Bali, Jakarta, dan Batam, yang sangat bergantung pada arus wisatawan mancanegara, akan menghadapi dampak besar.
Dampak pada Sektor Perdagangan dan Ekspor
Selain sektor pariwisata, sektor perdagangan Indonesia juga berpotensi terguncang. Data dari Trading Economics menunjukkan bahwa ekspor Indonesia ke India pada 2023 mencapai USD 20,29 miliar, dengan komoditas utama berupa minyak sawit mentah (CPO), batu bara, dan produk kimia.
Sementara ekspor ke Pakistan tercatat sebesar USD 3,14 miliar, dengan produk unggulan berupa minyak sawit, beras, dan tekstil. India merupakan pasar utama batu bara Indonesia, dengan sekitar 36 juta ton batu bara dikirim ke negara tersebut setiap tahun.
Ketegangan yang mempengaruhi hubungan perdagangan ini bisa menyebabkan Indonesia kehilangan pendapatan yang sangat besar.
Jika konflik menyebabkan penurunan permintaan ekspor sebesar 20% dari kedua negara, Indonesia diperkirakan akan kehilangan sekitar USD 4,06 miliar (Rp 64,9 triliun) dari India dan USD 628 juta (Rp 10 triliun) dari Pakistan.
Penurunan ini tidak hanya berdampak pada batu bara, tetapi juga pada komoditas lain seperti minyak sawit dan produk kimia, yang menjadi bagian penting dari perdagangan Indonesia dengan India dan Pakistan.
Volatilitas atau Kegoyahan Ekonomi
Ketegangan antara India dan Pakistan dapat memicu kegoyahan atau ketidakstabilan dalam berbagai sektor ekonomi Indonesia. Kegoyahan ekonomi ini terlihat melalui fluktuasi tajam dalam nilai tukar mata uang, harga komoditas, serta ketidakpastian pasar keuangan.
Volatilitas nilai tukar rupiah, misalnya, bisa terjadi akibat aksi jual besar-besaran oleh investor asing yang menanggapi ketegangan geopolitik tersebut, seperti yang tercatat pada eskalasi India-Pakistan tahun 2019, di mana rupiah melemah hingga 1,5% dalam seminggu.
Kegoyahan di pasar saham dan pasar valuta asing bisa mengarah pada peningkatan biaya impor, yang pada gilirannya akan mendorong inflasi dan merugikan daya beli masyarakat. Ini terutama akan terasa pada barang-barang yang sangat bergantung pada impor, seperti bahan baku industri dan barang konsumsi.
Selain itu, ketidakpastian yang timbul dapat memperburuk iklim investasi dan menghambat pemulihan ekonomi domestik yang sudah berusaha pulih dari dampak pandemi COVID-19.
Dalam menghadapi ketidakstabilan ini, Indonesia perlu memiliki strategi untuk meredakan kegoyahan ini, baik melalui kebijakan moneter yang hati-hati, intervensi pasar untuk menstabilkan nilai tukar, maupun upaya diversifikasi pasar ekspor dan pariwisata.
Peluang Indonesia sebagai Mediator dan Honest Broker
Di balik ancaman tersebut, Indonesia memiliki peluang diplomatik untuk terlibat lebih aktif dalam proses perdamaian. Sebagai negara yang memiliki hubungan baik dengan kedua belah pihak, Indonesia memiliki potensi untuk memainkan peran sebagai mediator sekaligus honest broker (penengah yang jujur).
Sebagai mediator, Indonesia dapat memfasilitasi dialog dan mencari solusi damai. Sebagai honest broker, Indonesia berkomitmen untuk bertindak secara jujur dan tidak memihak, dengan tujuan utama menciptakan perdamaian dan kestabilan kawasan.
Sejak era Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955 di Bandung, Indonesia telah memposisikan diri sebagai negara penengah yang mendorong solidaritas dan perdamaian, menolak dominasi kekuatan besar, dan memperjuangkan keadilan sosial.
Dengan status Indonesia sebagai anggota G20 (Group of Twenty) Kelompok 20 Negara dengan Ekonomi Terbesar, ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara, dan OIC (Organisation of Islamic Cooperation) atau lebih umum disebut sebagai Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), serta sebagai pendiri Non-Aligned Movement (NAM) Gerakan Non-Blok, Indonesia memiliki posisi strategis untuk mendorong dialog damai antara India dan Pakistan.
Diplomasi berbasis prinsip Pancasila, yang menekankan musyawarah, mufakat, dan penghormatan terhadap kemanusiaan, dapat menjadi pendekatan yang tepat untuk membantu menyelesaikan konflik ini.
Indonesia bisa memfasilitasi pertemuan trilateral yang melibatkan ASEAN, SAARC (South Asian Association for Regional Cooperation) Asosiasi Kerja Sama Negara-negara Asia Selatan, dan OIC, sehingga mendorong tercapainya kesepakatan damai.
Langkah-Langkah Mitigasi Internasional dan Domestik
Selain memainkan peran diplomatik, Indonesia perlu melakukan langkah mitigasi untuk mengurangi dampak negatif dari ketegangan India-Pakistan terhadap perekonomian domestik. Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:
- Diversifikasi Pasar: Mengurangi ketergantungan pada pasar Asia Selatan dengan mengembangkan pasar baru di Eropa, Amerika Latin, dan Timur Tengah.
- Penguatan Rantai Pasok: Mendorong substitusi impor dan peningkatan riset serta pengembangan (R&D) lokal untuk mengurangi ketergantungan pada pasokan luar negeri.
- Stabilisasi Harga: Membangun cadangan energi dan melakukan intervensi pasar untuk menghindari lonjakan harga yang merugikan konsumen dan industri.
- Promosi Pariwisata Domestik: Fokus pada pasar wisata domestik dan negara-negara alternatif seperti Cina, Eropa, dan Australia, serta mengembangkan destinasi wisata di luar Bali dan Jakarta.
- Kebijakan Moneter-Fiskal: Mengatur kebijakan suku bunga dan stimulus ekonomi untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan sektor perbankan.
Dengan langkah-langkah ini, Indonesia dapat mengurangi dampak dari ketegangan geopolitik dan tetap menjaga stabilitas ekonomi dalam menghadapi ketidakpastian global.***
Isi opini sepenuhnya tanggung jawab penulis